Analisis
Sistem Hukum Jual Beli Hak Atas Tanah Setalah Berlaku Undang-Undang Pokok
Agraria
(Hukum Dagang)
Di Susun Oleh
:
1. NURVITA
SETYANINGSIH 25210225
2. RIDWAN 25210915
3. RISCA
DAMAYANTHI 26210025
4. RIZA
FAJAR ANGGRAENI 26210089
5. SETYO
RINI PURBOWATI 26210489
Pengarang :
Haryati
Kelas : 2EB06
Abstraksi
Sebelum berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960), untuk mdakukan
perbuatan hlikum jual beli hak atas .tanah berlakulah ketentuan httktrnt yang
bersijat dualisme, yaitu menurtmt Hukurn Adat dun Hukum Barat. Setelah
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, yang bersifat unifikasi (kesatuan
hukum), jual beli hak atas tanah tidak menggunakan kedua ketentuan hukum
diatas, melainkan menggunakan sistem dan asas-asas Hukum Adat.
Pendahuluan
Dengan mulai berlakunya
Undang- Undang pokok Agamia (undang- undang No.5/1960)terjadilah suatu
perubahan fundamental dalam Hukum Agraria Indonesia. Sebelum itu terdapat apa
yang di sebut “dualisme” dalam Hukum Agraria kita, yaitu bersumber pada Hukum
Barat yang sebagian terbesar berpokok pada ketentuan-ketentuan Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata Indonesia (Hukum Agreria Barat),di samping Hukum Agraria
yang bersumber pada Hukum Adat, yang sebagian besar kaidah-kaidahnya merupakan
Hukum yang tidak tertulis(Hukum Agraria Barat).
mulai berlakunya UUPA
dualisme tersebut di hapuskan, yaitu dengan dicabutnya dualisme tersebut di
hapuskan, yaitu dengan dicabutnya Buku II kitab Undang – Undang Hukum Perdata
indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya. Kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.Namun sekarang
mengenai hipotik telah di atur dalam Undang-Undang No.41 1996, yang mengatur
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengn Tanah.Dengan
demikian UUPA telah menciptakan unifikasi hukum(Kesatuan hukum) yang dengan
tegas memakai dasar Hukum Adat (Pasal 5 UUPA, yang menyatakan bahwa : “Hukum
Agraria yang berlaku ialah hukum adat).
Mengingat sebelum berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria mengenai jual beli hak atas tanah itu terdapat
2(dua) sistem humum, yaitu menurut pengerian hukum adat dan hukum barat.
Pembahasan
1.Jual Beli Hak Atas Tanah
Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat jual beli
hak atas tanah bukan merupakan perjanjin dimana yang dimaksudkan dalam pasal
1457 KUHP perdata , melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan
tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya,pada
saat itu pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan dilakukannya
jual beli trsebut maka hak milik atas tanah it beralih kepada pembeli.Menurut
hukum pembeli telah menjadi pemilik baru. Harga tanah yang di bayar bisa
dianggap telah di bayar penuh.
Jual beli hak atas tanah
menurut Hukum Adat bersifat apa yang di sebut “contoh” atau “tunai”. Pembayaran
harga dan penyerahan haknya di lakukan pada saat yang bersamaan.
Pada saat itu jual beli
tersebut menurut hukum telah selesai.Sisa harganya yang menurut kenyataannya
belum dibayar di anggap sebagai utang pembeli pada bekas pemilik, atas dasar
perjanjian utang piutang yang di anggap terjadi antara pembeli dan bekas
pemilik segera setelah jual beli tanah tersebut di lakukan. Perjanjian utang
piutang itu tidak ada hubungan hukumnya dengan jual beli hak atas tanh.berarti
bahwa jika kemudian pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik
tidak dapat menuntut pembatalan jual beli.Penyelesaian pembayaran sisa harga
tersebut harus dilakukan menurut hukum perjanjian utang piutang.
Dalam Hukum Adat “jual beli
tanah” bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut “perjanjian
obligatoir”. Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan hukum
pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya harga yang di setujui bersama
di bayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
Biasanya jusl beli tanah itu
dilakukan Kepala Adat(Desa),tetapi dalam kedudukannya sebagai kepala adat(Desa)
menanggung, bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.Dengan
dilakukannya dimuka kepala Adat jual beli itu menjadi “terang” bukan perbuatan
hukum yang “gelap”. Pembeli mendapat pengakuan dari masyarakat yang
bersangkutan sebagai pemilik yang baru dan akan mendapatkan perlindungan hukum
jika dikemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menganggap jual
beli tersebut tidak sah.
Di keputusan lain mahkamah
agung berpendapat bahwa : peranan kepala desa atau kepala adat pembuatan
perjanjian yang menyangkut tanah menyatakan : “suatu putusan rapat Desa(rapat
selapanan) tentang pengalihan tanah yang diadakan sebelum berlakunya UUPA
dinyatakan tetap berlaku”.(Putusan Mahkamah Agung nomor 187/K/Sip/1975,tanggal
17 maret 1976).
Umumnya dari jual beli hak
atas tanah dibutuhkan suatu AKTA, berupa pernyataan dari pihak yang menjual
bahwa ia telah menjual tanahnya kepada pembeli.(istilah menurut hukum adat :di
jual lepas)
Menurut hukum adat untuk
sahnya perjanjian itu disyaratkan adanya apa yang disebut “panjer”.Panjer dapat
berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan kepada pemilik
tanahnya.Perjanjian akan jual beli itu tidak termasuk Hukum Agraria atau Hukum
Tanah,melainkan termasuk hukum perjanjian atau hukum perutangan.Jika
pihak-pihak yang bersangkutan tunduk pada hukum adat maka hukum yang berlaku
terhadap perjanjian itu adalah hukum adat. Jika pihak-pihak yang besangkutan
tunduk pada Hukum Barat maka yang berlaku adalah Hukum perjanjian yang terdapat
dalam KUHP perdata. Tetapi perjanjian itu bukan perjanjian jual beli yang
dimaksudkan dalam pasal 1457. Jika pihak pemilik dan calon pembeli tunduk pada
hukum yang berlainan,maka hukum antara golonganlah yang akan menunjukkan hukum
manakah yang berlaku.
2.Jual Beli Hak Atas Tanah
Menurut Hukum Barat
Menurut Hukum Barat jual
beli,pengaturannya ada dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Menurut pasal
1457 KUHPerdata,jual beli adalah suatu perjanjian,dengan mana pihak yang
satu(penjual)mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak milik atas)suatu benda
dan pihak yang lain(pembeli) untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.selanjutnya dalam pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli
itu di anggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka mencapai
kata sepakat mengenai benda yang dijualbelikan itu serta harganya.Dalam sistem
Hukum Barat jual beli mengenai tanah,tanahnya harus diserahkan kedalam
kekuasaan pembeli dengan perjanjian tersendiri.Hak milik atas tanah tersebut
baru beralih kepada pembeli jika telah dilakukan apa yang disebut “penyerahan
yuridis”(juridische levering). Pada waktu dilakukan penyerahan yuridis itu baik
pembeli maupun penjual kedua-duanya wajib hadir. Biasnnya penjual setelah
perjanjian jual beli dilakukan memberi kuasa kepada penibeli untuk hadir dan
melaksanakan penyerahan yuridisnya untuk dan atas nama penjual, yaitu jika
harganya sudah dibayar lunas.
Perianjian jual beli
pengaturmya termasuk Hukum Perjanjian (Hukum Perikatan atau Hukum
Perutangan),sedang penyerahan yuridisnya termasuk Hukum Benda(HukumTanahatauHukum
Agnria). Sebelum dilakukan penyerahan yuridis barulah ada pihak penjual akan
menyerahkan haknya kepada pembeli, janji mana sungguhpu merupakan kewajiban
hukumbelm tentu akan benar -benar dilaksanakan.
Sudah menjadi kenyataan
bahwa setiap bangsa mempunyai kebudayaan sendiri dan juga mempunyai hukum
sendiri,yang berbeda dari kebudayaan dan hukum bangsa lain. Dalam membandingkan
kedua sistim hukum yang berlaku dalam jual beli hak atas tanah, yaitu menurut
Hukum Adat Dan Barat ini, kita tidak semata-mata hingga mengetahui
pebedaan-perbedaan itu,tetapi yang penting adalnh untuk mengetahui sebab-sebab
adanya perbedaan-perbedaan tersebut. Adapun sebab-sebab dari
perbedaan-perbedaan tersebut adalah adanya cara berfikir dan sifat
(karakter)satu bangsa dan lainnya
berbeda.
Hal ini tercermin dari
kebudayaan dan hukumnya. Cara berfikir orang barat digambarkan sebagai abstrak,
analitis,sistematis. Sedangkan cara berfikirorang Indonesia menurut Hukum Adat
adalah konkrit dan riil. Sesuai dengan cara berfikir tersebut diatas, maka
pengertian jual beli dalam Hukum Adat adalah suatu penyerahan barang secara
nyata untuk selama-lamanya dengan penerimaan harganya. Lain sekali dengan
pengertian Hukum Barat, jual beli sebagai perjanjian obligatoir, baru
memberikan hak kepada pembeli setelah dilaksanakan penyerahan
yuridis kepada pembeli.
Disamping perbedaan diatas masih ada perbedaan lain, yakni : Hukum Barat, dalam
hal tanah menganut asas "vertikal", sedangkan Hukum Adat menganut
"asas Pemisahan Horisontal", dengan demikian berarti rumah dapat
diperjual belikan terpisah dari tanah. (Putusan Mahkamah Agung, nomor: 2339
K/Sip/1982, tanggal 16 Juni 1983,yang menyatakan bahwa : menurut pasal5 - bagi
tanah berlaku Hukum Adat,ha1 mana berarti rumah dapat diperjual belikan
terpisah dari tanah (pemisahjan horisontal).
Menurut asas vertikal hak
milik atas sebidang tanah meliputi benda-benda yang berada diatasnya
(bangunan). Asas vertikal juga dinamakan asas absorpsi,artinya, menyedot segala
apa yang berada diatasnya. Menurut asas Horisontal hak milik atas sebidang
tanah tidak meliputi bangunan diatasnya.
Kesimpulan
Dalam jual beli hak atas
tanah menurut sistem Hukum Adat, antara pembayaran harga dan penyerahan hak
dilakukan bersama-sama, dan pada saat itu hak milik atas tanah berpindah.
Karena sifatnya yang kontan, saat ini pembeli sudah menjadi pemilik tanah yang
baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cara berfikir orang indonesia
adalah kongkrit dan rill, maksudnya adalah bahwa dalam hukum adat jual beli
adalah suatu penyerahan barang secara nyata untuk selama lamanya dengan
penerimaan harganya.
Berbeda dengan jual beli hak
atas tanah menurut sistem Hukum Barat.Menurut sistem Hukum Barat dibedakan
antara : perjanjian jual belinya dan penyerahan yuridisnya. Karena itu,sistem
ini dikatakan bersifat : “konsensuil”. Jadi hak atas tanahnya baru di pindah
setelah di buatnya akta penyerahan yuridis (levering juridis) oleh pejabat
balik nama (overschrijvingsambtenaar).karena itu cara berfikir orang barat
digambarkan sebagai abstrak analitis dan sistematis, maksudnya adalah bahwa
jual beli sebagai perjanjian obligator, baru memberikan hak kepada pembeli
untuk minta diserahkannya suatu barang masih harus dituntut pelaksanaanya.
Daftar Pustaka
Boedi Harsono (1971),
Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah penyusunan, isi dan pelaksanaannya,
Djambatan, Jakarta.
(1999), Hukum Agraria
Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan
pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Djaren Sarangih (1980),
Pengantar Hukum Adat Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Effendi Perangin (1986),
Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, C.V.
Rajawali, Jakarta.
Harun Al Rashid (1987),
Sekilas Tentang Jual Beli Tanah Ghalia Indonesia, Jakarta.
Hilman Hadikusuma (1979),
Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung.
Iman Syudiat (1978), Hukum
Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta.
Subekti (1992), Perbandingan
Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
Suryo Wignjodipuro (1973),
Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung.
Sumber
Jurnal
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/11036069.pdf
0 Coment:
Posting Komentar