{Fungasi Dan Relevasi Filsafat Bagi Rasa Keadilan Dalam Hukum Positif
(Subjek
Hukum dan Objek Hukum)}
Di Susun Oleh
:
1. NURVITA
SETYANINGSIH 25210225
2. RIDWAN 25210915
3. RISCA
DAMAYANTHI 26210025
4. RIZA
FAJAR ANGGRAENI 26210089
5. SETYO
RINI PURBOWATI 26210489
Pengarang : R.Arry Mth. Soekawathy
Kelas : 2EB06
Abstraksi
The writer in this paper
tried to investigate and describe the philosopical thoughts of the function of
Law Philosophy and its relevance to the sense of justice according to the
positive law. The formulated hypothesis are: (1) The enforcement of the law materialized
the justice and the certainty and insurance in justice (2) The description of
the sense of justice should be in the existing positive law, (3) The philosophy
of law represented the search for the deepest meaning of the ultimate result in
the law wisdom.
Pendahuluan
Pemikiran tentang Filsafat
hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa jauh penerapan arti hukum
dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian
antara teori dan praktek hukum.
Manusia memanipulasi
kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan
keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan
tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena ditarik ke
masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang
sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya.
Kebijaksanaan pemerintah
tidak mampu membawa hukum menjadi “panglima” dalam menentukan keadilan, sebab
hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu membelinya atau orang yang
memiliki kekuasaan yang lebih tinggi (Muchsan, 1985: 42).
Dalam beberapa dekade
terakhir, fenomena pelecehan terhadap hukum semakin marak. Tindakan pengadilan
seringkali tidak bijak karena tidak memberi kepuasan pada masyarakat. Hakim
tidak lagi memberikan putusan adil pada setiap pengadilan yang berjalan karena
tidak melalui prosedur yang benar. Produk hukum telah dikelabui oleh
pelanggarnya sehingga kewibawaan hukum jatuh.. Manusia lepas dari jeratan hukum
karena hukum yang dipakai telah dikemas secara sistematik sehingga perkara
tidak dapat diadili secara tuntas bahkan justru berkepanjangan dan akhirnya
lenyap tertimbun masalah baru yang lebih aktual.
Fungsi hukum tidak bermakna
lagi, karena adanya kebebasan tafsiran tanpa batas yang dimotori oleh kekuatan
politik yang dikemas dengan tujuan tertentu. Hukum hanya menjadi sandaran
politik untuk mencapai tujuan Filsafat hukum berasal dari pemikiran Yunani
yakni kaum Hemer sampai kaum Stoa sebagai peletak dasarnya. Adapun dasar-dasar
utama filosofi hukum timbul dan berkembang dalam negara kota (Polis) di Yunani.
Keadaan ini merupakan hasil
perpaduan antara kondisi Polis dan perenungan (comtemplation) bangsa Yunani. Renungan
dan penjabaran kembali nilai-nilai dasar tujuan hukum, sistem pemerintahan,
peraturan-peraturan, kekuasaan absolut mendorong mereka untuk memikirkan
masalah hukum. Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas,
sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia.
Filsafat hukum tak lepas
dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia
membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan
manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan
peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah.
Kondisi geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang damai
memungkinkan orang berpikir bijak, memunculkan filsafat yang memikirkan
bagaimana keadilan itu sebenarnya, akan kemana hukum diberlakukan bagi seluruh
anggota masyarakat, bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara universal
yang berlaku untuk mendapatkan penilaian yang tepat dan pasti.
Pembahasan
Ø KONSEP TENTANG FILSAFAT HUKUM YANG BERKAITAN
DENGAN PEMIKIRAN FILOSOFIS
Pada dasarnya manusia
menghendaki keadilan, manusia memiliki tanggung jawab besar terhadap hidupnya,
karena hati nurani manusia berfungsi sebagai index, ludex, dan vindex
(Poedjawijatna, 1978: 12).
Proses reformasi menunjukkan
bahwa hukum harus ditegakkan demi terwujudnya supremasi hukum dalam rangka
menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum: Ketertiban,
keamanan, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, kebenaran dan keadilan.
Pemikiran filosofis keadilan yang berkaitan dengan filsafat hukum berkaitan
erat dengan pemikiran John Rawls mengungkapkan 3 faktor utama yaitu :
1. perimbangan tentang
keadilan (Gerechtigkeit)
2. kepastian hukum
(Rechtessisherkeit)
3. kemanfaatan hukum
(Zweckmassigkeit) (Soetandyo, 2002: 18).
Keadilan berkaitan erat
dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai
anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang
sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat.
Keadilan merupakan salah
satu tujuan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan adalah
kehendak yang ajeg, tetap untuk memberikan kepada siapapun sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman. Korelasi antara
filsafat, hukum dan keadilan sangat erat, karena terjadi tali temali antara
kearifan, norma dan keseimbangan hak dan kewajiban. Hukum tidak dapat
dipisahkan dengan masyarakat dan negara, materi hukum digali, dibuat dari
nilai-nilai yang terkandung dalam bumi pertiwi yang berupa kesadaran dan cita
hukum (rechtidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa,
perikemanusiaan, perdamaian, cita politik dan tujuan negara. Hukum mencerminkan
nilai hidup yang ada dalam masyarakat yang mempunyai kekuatan berlaku secara
yuridis, sosiologis dan filosofis. Hukum yang hidup pada masyarakat bersumber
pada Hukum Positif, yaitu :
1. Undang-undang
(Constitutional)
2. Hukum kebiasaan
(Costumary of law)
3. Perjanjian Internasional
(International treaty)
4. Keputusan hakim
(Jurisprudence)
5. Doktrin (Doctrine)
6. Perjanjian (Treaty)
7. Kesadaran hukum
(Consciousness of law) (Sudikno M, 1988: 28).
Tata rakit antara filsafat,
hukum dan keadilan, dengan filsafat sebagai induk ilmu (mother of science),
adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan secara rational
dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam hidupnya.
Peranan filsafat tak pernah selesai, tidak pernah berakhir karena filsafat
tidak menyelidiki satu segi tetapi tidak terbatas objeknya, namun filsafat
tetap setia kepada metodenya sendiri dengan menyatakan semua di dunia ini tidak
ada yang abadi yang tetap hanya perubahan, jadi benar filsafat ilmu tanpa
batas. Filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika yang bersifat
universal.
Filsafat memiliki cabang
umum dan khusus serta beberapa aliran di dalamnya, terkait dengan persoalan
hukum yang selalu mencari keadilan, hukum dan keadilan tidak semata-mata
ditentukan oleh manusia tetapi alam dan Tuhan ikut menentukan. Alam akan
memberikan hukum dan keadilan lebih karena alam mempunyai sifat keselarasan,
keseimbangan, keajegan dan keharmonisan terhadap segalanya, alam lebih
bijaksana dari segalanya.
Manusia terlibat dalam alam
semesta sehingga manusia tunduk dan taat pada alam semesta walaupun hukum alam
dapat disimpangi oleh akal manusia tetapi tidak semuanya, hanya hal-hal yang
khusus terjadi. Kebenaran hukum sangat diharapkan untuk mendukung tegaknya
keadilan. Manusia dan hukum terlibat dalam pikiran dan tindakannya, karena hati
nurani manusia berfungsi sebagai index, ludex dan vindex pada setiap persoalan
yang dihadapi manusia.
Filsafat hukum memfokuskan
pada segi filosofisnya hukum yang berorientasi pada masalah-masalah fungsi dari
filsafat hukum itu sendiri yaitu melakukan penertiban hukum, penyelesaian
pertikaian, pertahankan dan memelihara tata tertib, mengadakan perubahan,
pengaturan tata tertib demi terwujudnya rasa keadilan berdasarkan kaidah hukum
abstrak dan konkrit.
Pemikiran filsafat hukum berdampak
positif sebab melakukan analisis yang tidak dangkal tetapi mendalam dari setiap
persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat atau perkembangan ilmu hukum itu
sendiri secara teoritis, cakrawalanya berkembang luas dan komprehensive.
Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dengan filsafat hukum adalah politik hukum,
sebab politik hukum lebih praktis, fungsional dengan cara menguraikan pemikiran
teleologiskonstruktif yang dilakukan di dalam hubungannya dengan pembentukan
hukum dan penemuan hukum yang merupakan kaidah abstrak yang berlaku umum, sedangkan
penemuan hukum merupakan penentuan kaidah konkrit yang berlaku secara khusus.
Di dalam memahami adanya
hubungan ilmu hukum dengan Hukum Positif, menyangkut hukum normatif diperlukan
telaah terhadap unsur-unsur hukum. Unsur hukum mencakup unsur ideal dan
rational. Unsur Ideal mencakup hasrat susila dan ratio manusia yang
menghasilkan asas-asas hukum, unsur riil mencakup kebudayaan, lingkungan alam yang
menghasilkan tata hukum. Unsur ideal menghasilkan kaidah-kaidah hukum melalui
filsafat hukum.
Unsur riel menghasilkan tata
hukum yang dalam hal ini dipengaruhi asas-asas hukum yang bertitik tolak dari
bidang-bidang tata hukum tertentu dengan cara mengadakan identifikasi
kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam perundangundangan tertentu
(Soerjono Soekanto, 1986 : 16).
Ø IMPLIKASI FILSAFAT HUKUM DALAM KENYATAAN
HIDUP BERMASYARAKAT, BERNEGARA, DAN BERBANGSA
Penerapan Filsafat Hukum
dalam kehidupan bernegara mempunyai variasi yang beraneka ragam tergantung pada
filsafat hidup bangsa (Wealtanchauung) masing-masing. Di dalam kenyataan suatu
negara jika tanpa ideologi tidak mungkin mampu mencapai sasaran tujuan
nasionalnya sebab negara tanpa ideologi adalah gagal, negara akan kandas di
tengah perjalanan. Filsafat Hidup Bangsa (Wealtanchauung) yang lazim menjadi
filsafat atau ideologi negara, berfungsi sebagai norma dasar (groundnorm) (Hans
Kelsen, 1998: 118) Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat) pada prinsipnya
bertujuan untuk menegakkan perlindungan hukum (iustitia protectiva).
Hukum dan cita hukum
(Rechtidee) sebagai perwujudan budaya. Perwujudan budaya dan peradaban manusia
tegak berkat sistem hukum, tujuan hukum dan cita hukum (Rechtidee) ditegakkan
dalam keadilan yang menampilkan citra moral dan kebajikan adalah fenomena
budaya dan peradaban.
Manusia senantiasa berjuang menuntut
dan membela kebenaran, kebaikan, kebajikan menjadi cita dan citra moral
kemanusiaan dan citra moral pribadi manusia. Keadilan senantiasa terpadu dengan
asas kepastian hukum (Rechtssicherkeit) dan kedayagunaan hukun (Zeweckmassigkeit).
Tiap makna dan jenis
keadilan merujuk nilai dan tujuan apa dan bagaimana keadilan komutatif,
distributif maupun keadilan protektif demi terwujudnya kesejahteraan lahir dan
batin warga negara, yang pada hakikatnya demi harkat dan martabat manusia.
Hukum dan keadilan sungguh-sungguh merupakan dunia dari trans empirical setiap
pribadi manusia.
Cita hukum (rechtidee)
mempunyai fungsi konstitutif memberi makna pada hukum dalam arti padatan makna
yang bersifat konkrit umum dan mendahului semua hukum serta berfungsi membatasi
apa yang tidak dapat dipersatukan. Pengertian, fungsi dan perwujudan cita hukum
(rechtidee) menunjukkan betapa fundamental kedudukan dan peranan cita-cita
hukum adalah sumber genetik dari tata hukum (rechtsorder).
Oleh karena itu cita hukum
(rechtidee) hendaknya diwujudkan sebagai suatu realitas. Maknanya bahwa
filsafat hukum menjadi dasar dan acuan pembangunan kehidupan suatu bangsa serta
acuan bagi pembanguan hukum dalam bidang-bidang lainnya. ,Hukum berfungsi
sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi,
hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan hukum dapat
berlangsung normal, damai, tertib.
Hukum yang telah dilanggar
harus ditegakkan melalui penegakkan hukum. Penegakkan hukum menghendaki
kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap
tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkana danya kepastian hukum karena
dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib, aman dan damai.
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakkan hukum.
Hukum adalah untuk manusia
maka pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, kegunaan bagi masyarakat jangan
sampai hukum dilaksanakan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Masyarakat
yang mendapatkan perlakuan yang baik, benar akan mewujudkan keadaan yang tata tentrem
raharja.
Hukum dapat melindungi hak
dan kewajiban setiap individu dalam kenyataan yang senyatanya, dengan
perlindungan hukum yang kokoh akan terwujud tujuan hukum secara umum:
ketertiban, keamanan, ketentraman, kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan
keadilan (Soejadi, 2003: 5).
Ø Suatu penjabaran kembali fungsi filsafat
hukum di dalam masyarakat adalah perlu yakni berupa pengertian, penyelesaian,
pemeliharaan dan pertahanan aturan-aturan yang berlaku, sesuai dengan kebutuhan
sosial yang relevan dengan perubahan-perubahan yang ada di dalam masyarakat,
sesuai dengan berlakunya Hukum Positif.
Ø Filsafat hukum berupaya memecahkan persoalan,
menciptakan hukum yang lebih sempurna, serta membuktikan bahwa hukum mampu
menciptakan penyelesaian persoalan-persoalan yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat dengan menggunakan sistim hukum yang berlaku suatu masa, disuatu
tempat sebagai Hukum Positif.
Ø Tugas filsafat hukum masih relevan untuk
menciptakan kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah
menjelaskan nilai-nilai, dasardasar hukum secara filosofis serta mampu
memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan
dengan kenyataankenyataan hukum yang berlaku, bahkan tidak menutup kemungkinan
hukum menyesuaikan, merubah secara radikal dibawah tekanan hasrat manusia yang berubah
tiada batas, untuk membangun paradigma hukum baru, guna memenuhi kebutuhan
perkembangan hukum pada suatu masa tertentu, suatu waktu dan pada suatu tempat.
Ø Rasa keadilan harus diberlakukan dalam setiap
lini kehidupan manusia yang terkait dengan masalah hukum, sebab hukum terutama
filsafat hukum menghendaki tujuan hukum tercapai yaitu :
a. Mengatur pergaulan hidup
secara damai
b. Mewujudkan suatu keadilan
c. Tercapainya keadilan berasaskan
kepentingan, tujuan dan kegunaan, kemanfaatan dalam hidup bersama.
d. Menciptakan suatu kondisi
masyarakat yang tertib, aman dan damai.
e. Hukum melindungi setiap
kepentingan manusia di dalam masyarakat sesuai dengan hukum yang berlaku,
sehingga terwujud kepastian hukum (rechmatigkeit) dan jaminan hukum
(Doelmatigkeit)
f. Meningkatkan
kesejahteraan umum (populi) dan mampu memelihara kepentingan umum dalam arti
kepentingan seluruh anggota masyarakat serta memberikan kebahagiaan secara
optimal kepada sebanyak mungkin orang, dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya (utilitarianisme).
g. Mempertahankan kedamaian
dalam masyarakat atas dasar kebersamaan sehingga terwujud perkembangan pribadi
atas kemauan dan kekuasaan, sehingga terwujud “pemenuhan kebutuhan manusia
secara maksimal” dengan memadukan tata hubungan filsafat, hukum, dan keadilan.
Ø Rasa keadilan yang dirumuskan hakim mengacu
pada pengertian-pengertian aturan baku yang dapat di pahami masyarakat dan
berpeluang untuk dapat dihayati, karena rasa keadilan merupakan “soko guru”
dari konsp-konsep “the rule of law”. Hakim merupakan lambang dan benteng dari
hukum jika terjadi kesenjangan rasa
keadilan. Jika rasa keadilan hakim dan rasa keadilan masyarakat tidak terjadi
maka semakin besar ketidakpeduliannya terhadap hukum, karena pelaksanaan hukum
menghindari anarki.
Ø Penegakan hukum tetap dikaitkan dengan fungsi
hukum, filsafat negara, dan ideologi negara, karena ketiganya berperan dalam
pembangunan suatu bangsa. Filsafat hidup bangsa (weltanschauung) lazimnya
menjadi filsafat negara atau Ideologi Negara, sebagai norma dasar (groundnorm).
Norma dasar ini menjadi sumber cita dan moral bangsa karena nilai ini menjadi
Cita Hukum dan paradigma keadilan suatu bangsa sesuai dengan hukum yang berlaku
(Hukum Positif). Penjabaran fungsi filsafat hukum terhadap permasalahan
keadilan merupakan hal yang sangat fundamental karena keadilan merupakan salah satu
tujuan dari hukum yang diterapkan pada Hukum Positif. Hukum merupakan alat
untuk mengelola masyarakat (Law as a tool of social engineering, menurut Roscoe
Pound), pembangunan, penyempurna kehidupan bangsa, negara dan masyarakat demi
terwujudnya rasa keadilan bagi setiap individu, yang berdampak positif bagi
terwujudnya “kesadaran hukum”.
Daftar Pustaka
Bismar Siregar, 1996, Rasa
Keadilan, P.T. Bina Ilmu, Surabaya
Budiono Kusumohamidjojo,
1999, Ketertiban Yang Adil, Suatu Tinjauan
Problematik Filsafat Hukum Indonesia,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dardji Darmodihardjo, 2002,
Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Leon Duguit, 1919, Law in
the Modern State, Limited Amsterdam University.
Hans Kelsen, 1998, General
Theory of Law and State, London University, USA.
Muchsan, 1985, Hukum Tata
Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Notonagoro, 1948, Pembukaan
Oendang-oendang Dasar 1945, Pokok Kaidah
Negara yang Fundamental
Negara Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Roscoe Pound, 1972,
Interpretations of Legal History, Havu, L.R, Holland.
Bismar Siregar, 1989, Rasa
Keadilan, PT. Bina Ilmu, Tunjungan S3E, Surabaya
Soerjono Soekanto, 1986,
Renungan tentang Hukum, CV. Rajawali, Jakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto,
2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 1988,
Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogykarta.
Soejadi, 2003, Refleksi
mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di Indonesia, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tasrif, 1987, Bunga Rampai
Filsafat Hukum, ABARDIN, cc, Jakarta.
W. Friedman, 1959, Law in
Change Society, Chapter IX, CV. Rajawali No. CV, Jakarta.
Sumber
Jurnal
http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/16/13
0 Coment:
Posting Komentar