Penetapan
Fiqih Muamalah Sebagai Dasar Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan
Sengketa Ekoonomi Syariah.
(Penyelesaian
Sengketa)
Di Susun Oleh
:
1. NURVITA
SETYANINGSIH 25210225
2. RIDWAN 25210915
3. RISCA
DAMAYANTHI 26210025
4. RIZA
FAJAR ANGGRAENI 26210089
5. SETYO
RINI PURBOWATI 26210489
Pengarang :
Hj. Reny Supriyatni
Kelas : 2EB06
Abstraksi
The
development of Islamic economic institutions in Indonesia has created the
conflict of interest between stakeholder and Religious Court, especially in
settlement of syariah-economic disputes. The application of fiqih muamalah in
settlement of syariah-economic disputes in Islamic Religious Court, has been
the crucial issue in Indonesia positive law . This article will seek to find
and determine whether the application of fiqih muamalah as a basis in such
dispute settlement is consistent with the Islamic Law Principles. It also
examines the implementation of fikih muamalah that has become an Indonesian
postive law.
This research applies juridical normative approach. Data
collection is gathered from library research complemented by primary from field
research. The specification of this research is descriptive analysis, and the
data gathered is analyzed in qualitative method. The article will demonstrate
that the above fiqih muamalah rules are stipulated in Law No.3 of 2006 Jo. Law
No 50 of 2009 on Second Amendment of Act No.7 of 1989. Meanwhile, the Islamic
Law Principles have been adopted by Law No.21 of 2008, the Supremre Court
Decree No 2 of 2008 and other relevant laws and regulations. The author
recommends that the Indonesian Government adopt implementing regulation on
syariah- economic. It is also recommended that the government should enhance
socialization of the laws and regulations relating to fikih muamalah and
syariah –economic to the general public. This can be a guidance for the
Indonesian Muslims to comprehensively practice their religion teaching.
Pendahuluan
Ekonomi syari’ah hadir dalam ranah sistem
hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan
kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development, agent
of modernization dan hukum sebagai a tool of social engineering.
Hal ini seiring dengan perkembangan lembaga
ekonomi/keuangan syariah di Indonesia, maka akan ada perbedaan kepentingan (conflict
of interest) dengan dunia Peradilan khususnya Peradilan Agama, titik
singgung yang dimaksud adalah dalam hal penyelesaian sengketanya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang
-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg.)
telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat
ini, dimana salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga
Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari’ah.
Berdasarkan data yang yang
diperoleh dari Ditjen Badan Peradilan Agama yang diakses melalui situs Badan
Peradilan Agama,2 hakim Pengadilan Agama yang menangani perkara ekonomi
syari’ah mengalami sedikit kendala dalam melaksanakan tugasnya. Kendala
dimaksud antara lain:
1. Baru pertama kali menangani perkara ekonomi syari’ah,
sehingga wajar apabila pengetahuan dan keterampilan hakim dalam menangani
perkara tersebut belum memadai;
2. Masih belum ada hukum materiil ekonomi syari’ah yang
terkumpul pada suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Akibatnya, hakim
harus menggali hukum materiil yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya
dari: Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional,
Kitab-kitab Fiqh, Undang-Undang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia, dan
rujukan lain. Kendala ini tidak terlalu dominan, karena umumnya para hakim
Pengadilan Agama berlatar belakang Sarjana Syari’ah yang tentu saja pernah
mempelajari hukum ekonomi syari’ah/hukum muamalah.
Bertambahnya kewenangan Pengadilan Agama
tersebut yang belum diimbangi dengan payung hukum (umbrella provision) yang
memadai, hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan fungsi yudikatif apabila
tidak menemukan payung hukum, tidak sedikit yang mempertimbangkan faktor
budaya, baik yang terekam dalam beberapa buku fiqih madzhab ataupun yang hidup
dalam masyarakat (the living law).
Hal ini merupakan kewajiban bahkan sudah
merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Oleh karena itu, setiap
hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dituntut supaya mengembangkan kemampuan ijtihad-nya
(rechtvinding).
Termasuk dalam katagori ijtihad disini
adalah ia berusaha mencari atau memberikan keputusan hukum yang lebih sesuai
dan adil dalam upaya mengembangkan sistem hukum itu sendiri. Dalam teori hukum
Islam (Islamic legal theory), pada dasarnya apabila hakim mendasarkan
putusannya kepada pendapat para ahli fiqih (imam madzhab/fuqaha) dengan
memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar yang
bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim
yang demikian menggunakan cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat madzhab
fiqih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya, dalam ajaran
Islam hal ini dibolehkan.
Namun apabila hakim dalam menyelesaikan perkara
secara membabi buta mengikuti madzhab tertentu sesuai yang diikutinya, padahal
garis hukum yang dibuat oleh madzhab yang dianutnya tersebut belum tentu cocok
diterapkan pada kondisi sekarang, yakni masih memerlukan pengkajian-pengkajian
secara seksama, maka jalur yang digunakan oleh hakim tersebut disebut taklid,
dalam ajaran Islam hal ini dilarang.
Perbedaan antara putusan
hakim dengan fiqih madzhab sangat dimungkinkan terjadi, mengingat kebenaran
doktrin fikih pada dasarnya adalah bersifat nisbi dan sangat dipengaruhi oleh
dimensi ruang dan waktu saat fiqih dibuat.5Dalam perspektif azas legalitas dan
persamaan di depan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UUPAg
bahwa: ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang ”
Pembahasan
·
Landasan
Yuridis Penggunaan Fikih Muamalah Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang
Peradilan Agama, perkara ekonomi syari’ah termasuk kewenangan Pengadilan Agama.
Masalah ekonomi syari’ah merupakan bidang baru dari kewenangan Pengadilan agama
yang belum diatur dalam perundang-undangan, namun berdasarkan Pasaltersebut
Pengadilan agama memiliki kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk
tetap menyelesaikannya. Dasar hukumnya adalah:
v Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa
pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
v Tidak ada satupun ketentuan undang-undang yang melarang
penerimaan atas ilmu pengetahuan termasuk doktrin fikih muamalah sebagai dasar
dalam menyelesaikan sengketa atau perkara
v
Kadang-kadang hakim
merasa pengetahuannya di bidang hukum masih sangat terbatas, sehingga
menganggap perlu mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang
dianggapnya lebih mengetahui.
Seorang hakim mendasarkan putusannya pada
pendapat para ahli yang lebih mengerti sebagaimana point tiga (3) di atas
mempunyai dua konotasi. Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory),
apabila hakim tersebut mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fikih
(imam madzhab/fuqaha) dengan memahami dan mengerti baik cara maupun
alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum
terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’
yaitu mengikuti pendapat madzhab fikih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan
penetapan hukumnya, dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan. Apabila hakim dalam
menyelesaikan perkara secara membabi buta mengikuti madzhab tertentu sesuai
yang diikutinya, padahal garis hukum yang dibuat oleh madzhab yang dianutnya
tersebut belum tentu cocok diterapkan pada kondisi sekarang, yakni masih
memerlukan pengkajian-pengkajian secara seksama, maka jalur yang digunakan oleh
hakim tersebut disebut taklid, dalam ajaran Islam hal ini dilarang.
32 Hakim Agama yang mendasarkan putusannya
semata-mata atas dasar doktrin madzab yang dianutnya dengan tidak memperhatikan
madzhab yang diikuti oleh para pihak atau nilai-nilai hukum yang berkembang
dalam masyarakat, berarti hakim tersebut telah menjadikan madzhabnya sebagai
kitab hukum, maka hal ini bertentangan dengan asas hukum yang menyatakan bahwa
putusan pengadilan berdasarkan hukum, dan dalam teori hukum Islam hakim yang
demikian termasuk hakim muqallid -taklid buta- yang dilarang
(diharamkan) dalam Islam.
Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Peradilan Agama menganjurkan atau bahkan
menuntut Hakim Agama supaya melakukan ijtihad (rechtvinding).
Anjuran ini antara lain dapat dipahami dari teks-teks di bawah ini:
v Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal16 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Jo Pasal56 ayat (1) Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang peradilan Agama;
v Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat …” (Angka 7 Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman):
·
B. Aktualisasi
Fikih Muamalah yang Telah Menjadi Hukum Positif di Indonesia
Hukum Islam yang seperti diformulasikan oleh
Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bersumber pada fiqih para fuqaha digunakan
sebagai acuan pada sistem operasionalisasi prinsip ekonomi syariah yang
digunakan oleh para pihak. Adapun fikih muamalah dari para fuqaha yang telah
diformulasikan oleh DSN diantaranya:
1. Fatwa –MUI No. 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Intersat/Faidah).
2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Giro.
3. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Tabungan, dll
Perlu ditegaskan
bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan lembaga Negara, keberadaan MUI tidak
dibentuk berdasarkan undang-undang. Akan tetapi, peran kultural MUI secara
kualitatif dan kuantitaif dalam mengembangkan dan menjalankan ekonomi syariah
di Indonesia sangatlah besar. Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum
islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat.
Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para
mujtahid. Artinya, kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan,seperti dalil bagi
mujtahid.37Apabila kedudukan fatwa dilihat dari aspek kajian ushul fiqh,
maka kedudukan fatwa hanya mengikat orang yang meminta fatwa dan yang memberi
fatwa.38Namun dalam konteks ini, teori itu tidak dapat sepenuhnya dapat
diterima karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang
dan berbeda dengan fatwa klasik.
Pada saat ini, fatwa ekonomi syari’ah DSN
tidak hanya mengikat bagi para praktisi lembaga ekonomi syari’ah melainkan juga
bagi warga masyarakat Islam Indonesia. Apalagi saat ini fatwa-fatwa tersebut
telah dijadikan hukum positif melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah, sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal1 angka (12) yang
berbunyi “ Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.”Selain fatwa-fatwa tentang ekonomi syari’ah
terdapat beberapa peraturan yang berkenaan dengan fikih muamalah dalam bidang
ekonomi yang telah menjadi hukum posistif di Indonesia dan menjadi acuan hakim
dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah, diantaranya sebagai berikut:
1.
UU No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
2.
UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Label halal);
3.
UU No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.
4.
UU. Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
Kesimpulan
1. Pengaturan penggunaan fikih muamalah dalam penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama sebagai acuan hakim dalam
menyelesaikan sengketa diperbolehkan mengingat belum adanya peraturan
perundangan yang secara umum mengatur tentang ekonomi syari’ah. Oleh karena itu
guna memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum di masyarakat yang
berkaitan dengan ekonomi syari’ah.
2. Aktualisasi fikih muamalah, bagian-bagian materil Syariat
Islam yang telah menjadi hukum positif (Perundang-Undangan yang berkaitan
dengan ekonomi syari’ah) di Indonesia adalah Undang-Undang No 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, PERMA No 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah serta Peraturan-peraturan lain seperti Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi
syari’ah. Fatwa-fatwa MUI yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi syariah
yaitu fatwa Nomor No. 01/DSN-MUI/IV/2006, No. 53/DSN-MUI/IV/2006. Peraturan
perundang-undangan dan fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar pelaksanaan kegiatan
dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank
konvensional yang membuka cabang syari’ah.
Sumber
Jurnal
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=65130&idc=21
0 Coment:
Posting Komentar