THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 17 April 2011

Tugas 9 (Swasembada Pangan Di Era SBY)

I. Pendahuluan

  Swasembada (self suffiency), bisa diartikan memenuhi seluruh kebutuhan dari produksi sendiri. Itu artinya swasembada terkait erat dengan keseimbangan antara pasokan (supply) dan permintaan (demand). Berdasarkan pemahaman seperti itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap pada 2009 nanti, negara ini mampu memenuhi seluruh permintaan kebutuhan bahan pangannya dari produksi dalam negeri. Tentu saja yang dimaksud bahan pangan tak cuma beras, tapi juga komoditas lain seperti jagung, kedelai, dan gula.

  Berdasarkan pemahaman itu pula, Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, membantah kalau sekarang Indonesia belum swasembada beras. Khusus untuk beras, swasembada disebutnya sudah tercapai sejak 2004. Dengan memenuhi sebanyak 90 persen kebutuhan beras dari dalam negeri, maka kondisi itu dinilainya sudah cukup untuk mendapat predikat swasembada beras. Ditambah lagi, selama 2005 sampai 2006 impor beras hanya satu persen dari produksi beras nasional. Lain kata, 99 persen kebutuhan beras sudah dipenuhi dari dalam negeri dan itu berarti swasembada.
   Lantas, mengapa pula harus impor hanya untuk mengisi pasokan yang berkurang? Jika mampu memenuhi 99 persen kebutuhan dari dalam negeri, mengapa harus impor yang cuma satu persen? Ironisnya lagi, kita juga sudah mengekspor beras, yang tahun lalu tercatat sampai sebesar 45 ribu ton. Kalau pasokan dalam negeri berkurang, kenapa pula mesti ekspor? Kenapa tidak memenuhi pasokan dalam negeri terlebih dulu? Karena kita sudah swasembada alias mampu memenuhi seluruh kebutuhan dari negeri sendiri, bukankah mestinya pasokan domestik diutamakan?
   Yang jelas bersamaan dengan masuknya ribuan ton beras-beras impor di pelabuhan-pelabuhan Indonesia, swasembada beras (pangan) lantang pula diteriakkan akan tercapai pada 2009. Swasembada pangan pada akhirnya diharapkan bakal mampu menjadi penopang utama ketahanan pangan negeri ini. Kita dukung semua upaya ke arah itu. Hanya saja, mungkin, akan lebih baik jika swasembada dimaksud bukan hanya sebatas pasokan dan kebutuhan.
   Swasembada pangan boleh jadi memang tak hanya neraca supply dandemand. Tapi, bisa juga mencakup urusan distribusi serta kemampuan masyarakat untuk memperolehnya. Kebutuhan pangan, meski sebagian mampu diproduksi sendiri, namun pendistribusiannya harus diakui masih sering mendapat gangguan. Masih banyak pelaku-pelaku tak bertanggung jawab yang menimbun dan sebagainya. Belum lagi menghitung pungutan tak resmi yang akhirnya membebani konsumen. Alhasil terkesan ada kelangkaan, dan kalau sudah begini, impor jadi jalan pintas.
   Bagi masyarakat petani sendiri masih menghadapi persoalan untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Tingginya harga pupuk adalah salah satunya. Petani padi sebagai konsumen utama produk pupuk nyaris tanpa peran dalam penentuan harga pupuk. Selain itu, kelangkaan pupuk pun masih sering terjadi, sehingga harga melambung dan akibatnya menyulitkan petani. Dalam kondisi ini jelas sulit bagi petani untuk meningkatkan produktivitas lahan. Lebih parah kalau ini diikuti dengan konversi lahan pertanian.
   Demi mencapai the real swasembada, pemerintah memang perlu kembali mempertegas keberpihakannya kepada petani dan produk-produk pangan domestik, baik dalam kebijakan pangan nasional maupun dalam kesepakatan perdagangan bebas. Tanpa keberpihakan tersebut, sulit untuk mencapai swasembada. Pasalnya konsumen akan terus-menerus dijejali produk pangan impor dengan harga lebih murah. Produk pangan dalam negeri jadi tak mendapat tempat di negeri sendiri. Posisi petani tetap sulit terangkat; sekadar tukang tanam berpenghasilan rendah. Kondisi ini tentu sulit membawa kita ke level swasembada yang sesungguhnya.

II. Pembahasan
   Pada masa kampanye Pemilu legislatif 2009 yang baru lalu ternyata program swasembada pangan memiliki nilai jual yang tinggi bagi partai politik untuk meraih simpati masyarakat.  Beberapa partai politik, yang jelas yakni Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat dan Partai Golongan Karya, menjadikan keberhasilan swasembada pangan periode kabinet Indonesia Bersatu saat ini sebagai senjata dalam meraih suara rakyat. 

   Bermunculanlah iklan-iklan kampanye di media massa seperti televisi, radio maupun media cetak dari partai-partai tersebut yang mengklaim bahwa sukses mencapai swasembada pangan saat ini merupakan buah keberhasilan masing-masing parpol.  Namun bagaimana sesungguhnya kondisi ketahanan pangan nasional dalam lima tahun terakhir atau selama 2005-2009 di bawah pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), benarkah Indonesia telah mencapai swasembada? 

   Jika menilik komoditas pangan yang dikembangkan di tanah air tentu saja akan terlalu panjang untuk diulas dalam tulisan pendek ini karena begitu banyaknya komoditas tersebut, sehingga hanya tiga produk utama yang akan dibahas yakni beras, gula dan daging.  Dalam Rencana Strategis Departemen Pertanian 2005-2009, pemerintah menetapkan proyeksi pencapaian produksi maupun besarnya konsumsi terhadap seluruh komoditas pangan di dalam negeri. 

  Khusus untuk padi selama periode 2005-2009, pertumbuhan produksinya diproyeksikan mengalami peningkatan 3,51 persen yakni dari 55,03 juta ton pada tahun 2005 menjadi 63,52 juta ton pada tahun 2009. 
Sedangkan produksi gula selama periode tersebut akan meningkat dari 2,16 juta ribu ton pada tahun 2005 menjadi 2,85 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata naik 7,09 persen per tahun. 

   Produksi daging ruminansia besar, yaitu daging sapi akan meningkat dari 392 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 441 ribu ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,01 persen per tahun.  bSementara itu selama jangka waktu lima tahun tersebut konsumsi beras diperkirakan meningkat dari 36,08 juta ton pada tahun 2005 menjadi 37,96 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 1,21 persen per tahun. 
Untuk konsumsi gula akan meningkat dari 3,30 juta ton pada tahun 2005 menjadi 3,82 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,57 persen per tahun. 

Pertama kali 

   Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyatakan pada 2008 untuk pertama kalinya sejak 1984 Indonesia kembali berhasil mencapai swasembada beras bahkan surplus hingga lebih dari 3 juta ton gabah kering giling (GKG), terutama beras kualitas premium.  Data dari Departemen Pertanian menyebutkan pada 2005 produksi padi secara nasional mencapai 54,15 juta ton kemudian naik menjadi 60,27 juta ton GKG pada 2008. 

   Sementara itu untuk produksi gula, menurut menteri, Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan gula konsumsi langsung rumah tangga sedangkan untuk memenuhi kebutuhan gula industri masih harus diimpor karena produksi dalam negeri masih rendah.  Dirjen Perkebunan Deptan Achmad Mangga Barani menyebutkan, pada 2008 produksi gula putih nasional mencapai 2,74 juta ton sedangkan kebutuhan hanya 2,7 juta ton. 

   "Produksi 2009 diharapkan mencapai 2,849 juta ton sehingga ada kelebihan volume. Jika angka itu tercapai maka tidak perlu impor lagi," katanya.  Sedangkan kebutuhan gula industri di dalam negeri sebanyak 1,8 juta ton sementara produksi nasional "raw sugar" (gula bahan baku industri) baru mencapai 100 ribu ton sehingga kekurangannya didatangkan dari luar. 

   "Namun demikian pada 2014 Indonesia sudah bisa memenuhi sendiri seluruh kebutuhan gula mentah untuk bahan baku industri," katanya.  Mengenai swasembada daging nasional, Direktur Jenderal Peternakan Tjeppy D Soedjana mengatakan, berdasarkan Rencana Starategis Deptan telah ditetapkan paling cepat tahun 2010. 

  Namun demikian Mentan memperkirakan saat swasembada tercapai sesungguhnya Indonesia masih membutuhkan impor yang jumlahnya, kurang dari 10 persen dari kebutuhan nasional. Data Ditjen Peternakan menyebutkan, pada 2004 populasi sapi potong sebesar 10,53 juta ekor dan produksi daging 369.711 ton. Pada 2008 populasi naik menjadi 11,86 juta ekor atau meningkat 2,01 persen pertahun dan produksi daging menjadi 418.207 ton atau meningkat 4,30 persen pertahun. 

   Sayangnya peningkatan produksi daging dalam negeri ini belum bisa menekan laju impor produk ternak. Hingga kini impor daging dan sapi bakalan masih cukup tinggi. Sekarang Indonesia masih mengimpor sekitar 30 persen dari total kebutuhan. Sapi bakalan sekitar 450 ribu ekor dan 55 ribu ton daging beku. 

 Untuk mencapai swasembada daging 2010 Mentan mengeluarkan peraturan No:59/Permentan/HK.060/8/2007 tentang Pedoman Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS).  Melalui kegiatan P2SDS diharapkan pada 2010, kebutuhan daging sapi bagi masyarakat sudah dapat dipenuhi dari dalam negeri minimal sebesar 90 persen atau 281,90 ribu ton. 

   Departemen Pertanian pada 2009 juga telah dialokasikan dana sebesar Rp145 miliar untuk subsidi bunga Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) skala kecil dengan sasaran 200.000 ekor sapi bibit sebagai upaya mempercepat swasembada daging.  Pada 2007, kebutuhan daging sapi di dalam negeri 370,8 ton, sedangkan kapasitas produksi dalam negeri 245,2 ton. Kekurangan 125,6 ton atau 33,9 persen dipenuhi lewat impor. 

   Dirjen Peternakan Tjeppy D Soedjana mengatakan melalui program percepatan pencapaian swasembada daging, diharapkan pada 2010 impor daging sapi bisa ditekan menjadi 9,8 persen atau 40,6 ribu ton dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri 414,3 ribu ton.  Namun demikian pencapaian swasembada daging pada 2010 sepertinya gagal dicapai, bahkan Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengakui hal itu. 

   "Kita tidak perlu malu mengakuinya," kata Mentan dalam rapat nasional Sosialisasi Kegiatan Pertanian 2009 dan Masukan Rencana Kegiatan 2010-2014 beberapa waktu silam.  Pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, program swasembada daging sapi ditargetkan pada 2005, kemudian direvisi 2010. Pada 2010 juga tidak akan tercapai karena tidak mungkin dalam dua tahun menambah populasi bibit sapi 1 juta ekor. Selain tidak ada dana, bibit juga tidak ada. 

  "Mungkin swasembada daging baru kita capai 2014," kata Dirjen Peternakan Tjeppy D Soedjana memprediksi.
   Mengapa masyarakat rindu era Pak Harto? Zaman orba tersebut memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Bahkan, Indonesia berhasil swasembada pangan. Indonesia didaulat badan dunia PBB sebagai role model.Kementerian Pertanian menuai puja dan puji dari domestik dan mancanegara.
   Mewujudkan swasembada pangan bukan perkara mudah. Butuh cetak biru (blue plan) untuk menunjukkan rute jalan surplus pangan. Dalam hal ini, pemerintahan Soehato patut diacungi jempol.
Swasembada Pangan Publik terhenyak ketika di Yahukimo terjadi kasus kelaparan. Di NTT, yang kesulitan mengakses pangan. Naas ketika sampai memakan korban jiwa. Negeri gemah ripah loh jinawi ini gagal memberi kesejahteraan bagi masyarakat. Era demokrasi tidak sebatas memberi kebebasan, tetapi soal isi perut.
   Era orba sebaliknya, kebebasan dikekang, tetapi kesejahteraan dan ketenangan didapat. Kementerian Pertanian dapat menjadi jembatan. Kementerian Pertanian bisa memformulasikan era reformasi, yaitukebebasan dan kesejahteraan seiring sejalan.
  • Integrasi. Kementerian Pertanian tidak jalan sendirian. Swasembada pangan bukan domain menteri pertanian semata. Terkait juga departemen perdagangan, proyek legislasi, dan arah ekonomi nasional.
  • Political will. Komitmen politik menyangkut politik ekonomi yang dibangun. Corak ekonomi dunia bisa dilihat secara sosialisme, kapitalisme, dan mix economy. Political will terkait pandangan politik ekonomi pemimpin bangsa.
  • Petani. Kemampuan petani Indonesia untuk berkompetisi secara global masih lemah. Serbuan asing melalui investasi modal membuat kewalahan petani domestik. Harga pokok pembelian turun drastis. Petani berada pada posisi tidak beruntung.
Kementerian Pertanian
   Kementerian Pertanian harus mengambil peran sebagai peletak visi swasembada pangan. Indonesia kaya sumber daya alam. Namun, miskin sumber daya manusia berkualitas. Quantity not produces quality. Kekayaan alam jadi curse (kutukan) ketimbang blessing (berkah). Gempuran dari sana dan sini tersirat dalam buku The Economic Hit Man. John Perkins membeberkan bahwa Indonesia disedot habis oleh korporasi internasional.
   Kementerian yang dikawal oleh politisi PKS ini harus menjaga tradisi keberpihakan bagi rakyat. Kebijakan afirmatif harus bertumpu pada petani. Kaum papa yang termarjinalkan. Lahan kini kian tergerus. Di Hari Tanah Nasional, SBY, bahkan, sempat terharu terkait tanah untukrakyat. Lahan bagi petani dicaplok para pengusaha.

Marhaenisme
   Era Soekarno diangkat paham marhaenisme. Paham ini merujuk pada Marhaen, seorang marjinal. Masa kini harus berkaca pada masa lalu bahwa swasembada pangan tidak akan berlangsung tanpa tanah untukrakyat. Tanah harus dikelola oleh para petani gurem. Jumlah mereka yang mendominasi petani nasional. Tanpa itu semua, hal ini hanya mimpi di siang bolong.


III. Kesimpulan
   Titik sentral masalahnya adalah apakah segenap energi bangsa dan wisdom  dalam mengambil keputusan intervensi kebijakan dapat saling mendukung dengan  target swasembada gula tersebut.  Sekali lagi, persoalan utama bukan terletak pada positioning apakah Indonesia harus protektif atau liberal dalam pengembangan  “industri” gulanya.  Konsistensi sebuah intervensi kebijakan jelas sangat diperlukan untuk memberikan sinyal insentif yang tepat bagi segenap pelaku, mulai dari petani, pedagang, pengolah dan konsumen. Termasuk di sini adalah intervensi dan keputusan impor, beserta perlakuannya yang sangat mencolok antara importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT).   
   Dalam konteks inilah maka, intervensi  kebijakan atau pemihakan pada sistem produksi gula di Indonesia menjadi salah  satu prasyarat pencapaian swasembada gula. Pada kesempatan lain (Arifin, 2005), penulis pernah menekankan untuk melakukan rekonstruksi basis produksi dalam sistem usahatani tebu, serta peningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis pabrik-pabrik gula yang  ada di Indonesia.  Kedua aspek ini perlu dibenahi secara bersamaan karena tidak mungkin berharap peningkatan efisiensi pabrik gula apabila kualitas rendemen gula dalam  tebu petani ternyata sangat rendah, yaitu sekitar 7 persen lebih sedikit. 
  Dalam kondisi biasa-biasa saja, mustahil berharap peningkatan produksi dan produktivitas tebu apabila insentif harga beli demikian rendah karena pabrik gula telah menderita inefisiensi teknis dan ekonomis.  Lebih buruk lagi, dukungan permodalan dari sektor perbankan dan lembaga non-bank lain cukup lemah, sehingga lengkaplah sudah persoalan struktural di sektor hulu produksi gula.  Seperti dijelaskan sebelumnya, sistem usahatani tebu telah mengalami 
   pergeseran signifikan, karena beberapa komoditas lain bernilai ekonomi sangat tinggi semakin dikenal petani tebu. Apabila tidak mampu terkelola secara baik, tingkat substitusi komoditas seperti itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi pencapaian tujuan kebijakan lain, seperti tingkat ketahanan pangan, diversifikasi produksi dan keuntungan ekonomis usahatani.  Bahkan, tingkat substitusi tebu lahan basah dengan padi sawah pernah menjadi topik hangat beberapa waktu lalu karena peningkatan areal tanam tebu dapat mengurangi produksi padi cukup signifikan, dan jelas mengganggu tingkat ketahanan pangan.
  Fenomena penurunan produksi dan produktivitas – sekaligus penurunan penerimaan ekonomis usahatani telah membuat banyak petani tebu mengkonversi menjadi usahatani lain atau dengan pola tanam lain yang lebih menguntungkan. Karena fenomena substitusi tersebut di atas, petani juga mengalihkan tebu  lahan sawah ke lahan kering karena pertimbangan rasional ekonomis.  
   Langkah kebijakan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tebu seakan tidak menghasilkan kinerja yang diharapkan baik karena menyangkut pembenahan kelembagaan yang demikian strategis.  Sejak  “terlepas” dari kebijakan sentralistis dan komando ala skema Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada awal era reformasi yang lalu, petani masih perlu dibiasakan untuk mengadopsi pilihan-pilihan ekonomis yang lebih rasional.  Pemerintah perlu lebih terfokus pada langkah nyata dalam peningkatan akses permodalan, informasi pasar, pembenahan  kelompok tani dan perbaikan sarana dan prasarana lain yang diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar para petani dalam bernegosiasi dengan pabrik gula dan pelaku pasar lainnya.   Dalam hal yang lebih operasional, pemerintah pusat perlu melakukan dialog dengan pemerintah daerah yang telah memasuki fase otonomi, agar diperoleh suatu strategi kebijakan yang bervisi pemberdayaan petani dan lapisan masyarakat lainya. 
   Beberapa studi sebenarnya telah banyak dilakukan untuk mengantisipasi pergeseran usahatani tebu tanaman ekonomis lainnya, sehingga muncullah pilihanpilihan rasional untuk pemanfaatan tebu lahan kering, bahkan di Luar Jawa (lihat Arifin, 2004).  Pemerintah perlu lebih serius dalam menindaklanjuti hasil-hasil analisis kebijakan alternatif atau perubahan pola tanam usahatani seperti itu, karena langkah kebijakan tersebut dapat berkontribusi bagi pemandirian petani dan desentralisasi ekonomi atau otonomi daerah yang lebih beradab. Pada sistem produksi ini, langkah pencapaian swasembada gula dapat ditempuh dengan langkah besar peningkatan rendemen,  yang selama ini hanya sekitar 7 persen atau kurang.  Kenaikan rendemen 1 persen saja, maka terdapat potensi tambahan produksi gula lebih dari 300 ribu ton,  yang tentu saja dapat berkontribusi pada pencapaian swasembada gula Indonesia (P3GI, 2008).   
   Kapasitas sumberdaya pabrik dan  sumberdaya manusia masih sangat memungkinkan untuk meningkatkan produktivitas hablur menjadi 8 ton per hektar.  Strategi tersebut dapat ditempuh dengan  “metode konvensional” dalam bidang budidaya, berupa perbaikan varietas, penyediaan bibit  sehat  dan murni, optimalisasi waktu tanam,  pengaturan kebutuhan air,  pemupukan  berimbang,  pengendalian organisme  pengganggu, dan sebagainya. Dalam aspek panen dan pasca panen, untuk meningkatkan produktivitas beberapa hal bisa dilakukan, misalnya penentuan awal giling yang tepat dan penentuan kebun tebu yang ditebang.   
   Selain  “metode konvensional” di atas, peningkatan rendemen dapat ditempuh dengan  “metode terobosan yang lebih komprehensif” seperti memperbaiki sistem insentif manajemen produksi tebu, mulai dari sistem bagi hasil, sistem transfer tebu, pengukuran kualitas tebu, insentif harga dan kebijakan lain seperti pendanaan kredityang lebih dapat diandalkan, sampai pada aspek konsolidasi lahan pabrik gula, seperti pembentukan sistem blok (lihat P3GI, 2008).   Apabila kedua metode peningkatan rendemen tersebut dapat dikombinasikan secara baik, maka pencapaian rendemen gula sampai 11 persen bukanlah sesuatu yang sulit. Bahkan, apabila metode tersebut secara konsisten dilaksanakan, maka tidak mustahil rendemen gula pada perkebunan tebu di Indonesia dapat mencapai 13 persen atau lebih.  

IV. DAFTAR PUSTAKA




Tugas 8 (Penanaman Modal Asing)

I. Pendahuluan

   Kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
   Pengertian penanaman modal asing meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut. perusahaan yang dimaksud dalam pasal 1 yang dijalankan untuk seluruhnya atau bagian terbesar di Indonesia sebagai kesatuan perusahaan tersendiri harus berbentuk Badan Hukum menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia


   Investasi (Penanaman Modal) adalah pengeluaran atau perbelanjaanpenanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barangmodal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambahkemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalamperekonomian. Investasi atau pembentukan modal merupakan komponenkedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat.
   Investasi merupakan tambahan stok barang modal tahan lama yangakan memperbesar peluang produksi di masa mendatang. Salah satu perananyang sangat penting untuk menjalankan suatu perekonomian adalah investasi,karena merupakan salah satu faktor penentu dari keseluruhan tingkat outputdan kesempatan kerja dalam jangka pendek. Apabila penemuan-penemuanbaru atau pembebanan pajak yang ringan atau pasar-pasar yang semakinberkembang memberikan insentif bagi investasi-investasi yang ada, yangmembuat permintaan agregat meningkat sementara output dan kesempatankerja tumbuh dengan cepat.
   Penggunaan tenaga kerja penuh dapat dicapaidengan cara menaikkan jumlah investasi oleh para pengusaha. Bila investasitidak mencapai tingkat tersebut pengangguran akan berlaku.investasi juga merupakan pengkaitan sumber-sumber dalam jangka panjang untuk menghasilkan laba di masa yang akan datang. Sekali investasi diputuskan maka perusahaan akan terikat pada jalan panjang di masa yang akan datang yang sudah dipilih, dan yang tidak mudah disimpangi. Investasi banyak mengandung resiko dan ketidakpastian.
Penanaman Modal Asing
   Yang dimaksud dengan penanaman modal asing (PMA) berdasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1967 jo.No.11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing adalah penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung, menanggung resiko dari penanaman modal tersebut.
Pengertian modal asing antara lain:
a. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian darikekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia.
b. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan, yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia.
c. Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 jo.No.11 Tahun 1970 diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan Indonesia. Di negara-negara berkembang diantaranya Indonesia, bantuan luar negeri secara langsung berdampak positif terhadap tabungan domestik, yaitu memberikan indikasi adanya kenaikan proporsi tabungan dari golongan masyarakat yang memperoleh kenaikan pendapatan.


II. Pembahasan



PETA KONSEP:

1. Pengertian Penanaman Modal Asing
2. Bentuk Hukum, Kedudukan dan Daerah Berusaha
3. Badan Usaha Modal Asing
4. TenagaKerja
5. Pemakaian Tanah
6. Jangka Waktu Penanaman Modal Asing, Hak Transfer dan Repatriasi
7. Nasionalisasi dan Kompensasi
8. Kerjasama Modal Asing dan Modal Nasional




Pengertian Penanaman Modal Asing


   Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1967 ditegaskan bahwa Pengertian penanaman modal asing di dalam Undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut.
Pengertian modal asing dalam Undang-undang ini menurut pasal 2 ialah : 
A. alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang 
dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia.


B. alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan, yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama alat-alat terse-but tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia.

C. bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan Undang-undang ini diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia.
Adapun modal asing dalam Undang-undang ini tidak hanya berbentuk valuta asing, tetapi meliputi pula alat-alat perlengkapan tetap yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, penemuan-penemuan milik orang/badan asing yang dipergunakan dalam perusaha¬an di Indonesia dan keuntungan yang boleh ditransfer ke luar negeri tetapi dipergunakan kembali di Indonesia.


Bentuk Hukum, Kedudukan dan Daerah Berusaha

    Menurut pasal 3 UPMA perusahaan yang dimaksud dalam pasal 1 yang dijalankan untuk seluruhnya atau bagian terbesar di Indonesia sebagai kesatuan perusahaan tersendiri harus berbentuk Badan Hukum menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

  Penanaman modal asing oleh seorang asing, dalam statusnya sebagai orang perseorangan, dapat menimbulkan     kesulitan/ketidak tegasan di bidang hukum Internasional. Dengan kewajiban bentuk badan hukum maka dengan derai-kian akan mendapat ketegasan mengenai status hukumnya yaitu badan hukum Indonesia yang tunduk pada hukum Indonesia. Sebagai badan hukum terdapat ketegasan tentang modal y ditanam di Indonesia.
  Pemerintah menetapkan daerah berusaha perusahaan-perusa-haan modal asing di Indonesia dengan memperhatikan perkembangan ekonomi nasional maupun ekonomi daerah, macam perusahaan. besarnya penanaman modal dan keinginan Ekonomi Nasional dan Daerah (Pasal 4). Dengan ketentuan ini maka dapat diusahakan pembangunan yang merata di seluruh wilayah Indonesia dengar,



Badan Usaha Modal Asing


Dalam pasal 5 UPMA disebutkan, bahwa : 
a) Pemerintah menetapkan perincian bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing menurut urutan prioritas, dan menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penanam-an modal asing dalam tiap-tiap usaha tersebut.
b) Perincian menurut urutan prioritas ditetapkan tiap kali pada waktu Pemerintah menyusun rencana-rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, dengan memperhatikan perkembangan ekonomi serta teknologi
.
Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak menurut pasal 6 UPMA adalah sebagai berikut : 
a. pelabuhan-pelabuhan
b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum 
c. telekomunikasi
d. pelayaran 
e. penerbangan
f. air minum
g. kereta api umum 
h. pembangkit tenaga atom
i. mass media.



TenagaKerja


   Menurut pasal 9 UPMA pemilik modal mempunyai wewenang sepenuhnya untuk menentukan direksi perusahaan-perusahaan di mana modalnya ditanam. 
   Kepada pemilik modal asing diperkenankan sepenuhnya menetapkan direksi perusahaannya. Kiranya hal demikian itu sudah sewajarnya karena penanaman modal asing ingin menyerahkan pengurusan modal kepada orang yang dipercayanya. Dalam hal kerjasama antara modal asing dan modal nasional direksi ditetap-kan bersama-sama.
   Dalam pasal 10 ditegaskan, bahwa perusahaan-perusahaan modal asing wajib memenuhi kebutuhan akan tenaga kerjanya dengan warganegara Indonesia kecuali dalam hal-hal tersebut pada pasal 11. Sedangkan dalam pasal 11 UPMA disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan modal asing diizinkan mendatangkan atau menggunakan tenaga-tenaga pimpinan dan tenaga-tenaga ahli warganegara asing bagi jabatan-jabatan yang belum dapat diisi dengan tenaga kerja warga negara Indonesia.
   Perusahaan-perusahaan modal asing berkewajiban menyeleng-garakan atau menyediakan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan di dalam atau di luar negeri secara teratur dan terarah bagi warganegara Indonesia dengan tujuan agar berangsur-angsur tenaga-tenaga warga negara asing dapat diganti oleh tenaga-tenaga warga negara Indonesia.



Pemakaian Tanah


   Dalam pasal 14 UPMA disebutkan, bahwa untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai menurut peraturan perundangan yang berlaku.
   Ketentuan pasal 14 ini yang memungkinkan diberikannya tanah kepada perusahaan-perusahaan yang bermodal asing bukan saja dengan hak pakai, tetapi juga dengan hak guna bangunan dan hak guna usaha, merupakan penegasan dari apa yang ditentukan di dalam pasal 55 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, berhubungan dan pasal 10, 62 dan 64 Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/ 1969.
   Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pokok Agraria pasal 35, pasal 29 dan pasal 41, maka hak guna bangunan tersebut dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, yang meng-ingat keadaan perusahaan dan bangunannya dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak guna usaha dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 25 tahun.
 Kepada perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan macam tanaman yang diusahakannya memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha dengan jangka waktu hak guna usaha tersebut dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Hak pakai diberikan dengan jangka waktu menurut keperluannya, dengan mengingat pembatasan-pembatasan bagi hak guna bangunan dan hak guna usaha tersebut di atas.



Jangka Waktu Penanaman Modal Asing, Hak Transfer dan Repatriasi

   Pasal 18 UPMA menegaskan, bahwa dalam setiap izin penanaman modal asing ditentukan jangka waktu berlakunya yang : tidak melebihi 30 (tigapuluh) tahun.
Selanjutnya (menurut Penjelasan Pasal 18 UPMA) diadakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Perusahaan Modal Asing harus mengadakan pembukaan ter-sendiri dari modal asingnya;
b. Untuk menetapkan besarnya modal asing maka jumlahnya harus dikurangi dengan jumlah-jumlah yang dengan jalan repatriasi telah ditransfer;
c. Tiap tahun perusahaan diwajibkan menyampaikan kepada Pemerintah suatu ikhtisar dari modal asingnya.

Mengenai hak transfer, dalam pasal 19 UPMA ditetapkan sebagai berikut :
1) Kepada perusahaan modal asing diberikan hak transfer dalam valuta asing dari modal atas dasar nilai tukar yang berlaku untuk :
a. Keuntungan yang diperoleh modal sesudah dikurangi pajak-pajak dan kewajiban-kewajiban pembayaran lain;
b. biaya-biaya yang berhubungan dengan tenaga asing yang dipekerjakan di Indonesia;
c. biaya-biaya lain yang ditentukan lebih lanjut;
d. penyusutan atas aht-alat perlengkapan tetap;
e. kompensasi dalam hal nasionalisasi.

2) Pelaksanaan transfer ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah.

modal asing. Dirasakan adil apabila perusahaan-perusahaan yang menggunakan modal asing tidak diperbolehkan merepatriasi modalnya mentransfer penyusutan selama perusahaan-perusahaan itu masih memperoleh kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain. Perlu diterangkan bahwa transfer keuntungan modal asing dapat dilakukan juga selama perusahaan itu memperoleh kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain.


III. Kesimpulan

   Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
Ketentuan mengenai Penanaman Modal diatur didalam Undang-undang No. 25 Tahun 2005 tentang Penanaman Modal
   Penanam Modal Asing dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. Kegiatan usaha usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan dan batasan kepemilikan modal asing atas bidang usaha perusahaan diatur didalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 Tentang Perubahan Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Perusahaan Penanaman Modal Asing mendapatkan fasilitas dalam bentuk :
  • pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;
  • pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
  • pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
  • pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;
  • penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan
  • keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
Kriteria Perusahaan Penanaman Modal Asing yang mendapatkan fasilitas antara lain :
  • Menyerap banyak tenaga kerja
  • Termasuk skala prioritas tinggi
  • Termasuk pembangunan infrastruktur
  • Melakukan alih teknologi
  • Melakukan industri pionir
  • Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu
  • Menjaga kelestarian lingkungan hidup
  • Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi
  • Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi
  • Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi didalam negeri.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Speedtest

Ayo Tes Seberapa Cepat Kamu Mengetik !! 50 words

Silahkan Coba Disini : Speed test

Search