THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 17 April 2011

Tugas 9 (Swasembada Pangan Di Era SBY)

I. Pendahuluan

  Swasembada (self suffiency), bisa diartikan memenuhi seluruh kebutuhan dari produksi sendiri. Itu artinya swasembada terkait erat dengan keseimbangan antara pasokan (supply) dan permintaan (demand). Berdasarkan pemahaman seperti itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap pada 2009 nanti, negara ini mampu memenuhi seluruh permintaan kebutuhan bahan pangannya dari produksi dalam negeri. Tentu saja yang dimaksud bahan pangan tak cuma beras, tapi juga komoditas lain seperti jagung, kedelai, dan gula.

  Berdasarkan pemahaman itu pula, Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, membantah kalau sekarang Indonesia belum swasembada beras. Khusus untuk beras, swasembada disebutnya sudah tercapai sejak 2004. Dengan memenuhi sebanyak 90 persen kebutuhan beras dari dalam negeri, maka kondisi itu dinilainya sudah cukup untuk mendapat predikat swasembada beras. Ditambah lagi, selama 2005 sampai 2006 impor beras hanya satu persen dari produksi beras nasional. Lain kata, 99 persen kebutuhan beras sudah dipenuhi dari dalam negeri dan itu berarti swasembada.
   Lantas, mengapa pula harus impor hanya untuk mengisi pasokan yang berkurang? Jika mampu memenuhi 99 persen kebutuhan dari dalam negeri, mengapa harus impor yang cuma satu persen? Ironisnya lagi, kita juga sudah mengekspor beras, yang tahun lalu tercatat sampai sebesar 45 ribu ton. Kalau pasokan dalam negeri berkurang, kenapa pula mesti ekspor? Kenapa tidak memenuhi pasokan dalam negeri terlebih dulu? Karena kita sudah swasembada alias mampu memenuhi seluruh kebutuhan dari negeri sendiri, bukankah mestinya pasokan domestik diutamakan?
   Yang jelas bersamaan dengan masuknya ribuan ton beras-beras impor di pelabuhan-pelabuhan Indonesia, swasembada beras (pangan) lantang pula diteriakkan akan tercapai pada 2009. Swasembada pangan pada akhirnya diharapkan bakal mampu menjadi penopang utama ketahanan pangan negeri ini. Kita dukung semua upaya ke arah itu. Hanya saja, mungkin, akan lebih baik jika swasembada dimaksud bukan hanya sebatas pasokan dan kebutuhan.
   Swasembada pangan boleh jadi memang tak hanya neraca supply dandemand. Tapi, bisa juga mencakup urusan distribusi serta kemampuan masyarakat untuk memperolehnya. Kebutuhan pangan, meski sebagian mampu diproduksi sendiri, namun pendistribusiannya harus diakui masih sering mendapat gangguan. Masih banyak pelaku-pelaku tak bertanggung jawab yang menimbun dan sebagainya. Belum lagi menghitung pungutan tak resmi yang akhirnya membebani konsumen. Alhasil terkesan ada kelangkaan, dan kalau sudah begini, impor jadi jalan pintas.
   Bagi masyarakat petani sendiri masih menghadapi persoalan untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Tingginya harga pupuk adalah salah satunya. Petani padi sebagai konsumen utama produk pupuk nyaris tanpa peran dalam penentuan harga pupuk. Selain itu, kelangkaan pupuk pun masih sering terjadi, sehingga harga melambung dan akibatnya menyulitkan petani. Dalam kondisi ini jelas sulit bagi petani untuk meningkatkan produktivitas lahan. Lebih parah kalau ini diikuti dengan konversi lahan pertanian.
   Demi mencapai the real swasembada, pemerintah memang perlu kembali mempertegas keberpihakannya kepada petani dan produk-produk pangan domestik, baik dalam kebijakan pangan nasional maupun dalam kesepakatan perdagangan bebas. Tanpa keberpihakan tersebut, sulit untuk mencapai swasembada. Pasalnya konsumen akan terus-menerus dijejali produk pangan impor dengan harga lebih murah. Produk pangan dalam negeri jadi tak mendapat tempat di negeri sendiri. Posisi petani tetap sulit terangkat; sekadar tukang tanam berpenghasilan rendah. Kondisi ini tentu sulit membawa kita ke level swasembada yang sesungguhnya.

II. Pembahasan
   Pada masa kampanye Pemilu legislatif 2009 yang baru lalu ternyata program swasembada pangan memiliki nilai jual yang tinggi bagi partai politik untuk meraih simpati masyarakat.  Beberapa partai politik, yang jelas yakni Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat dan Partai Golongan Karya, menjadikan keberhasilan swasembada pangan periode kabinet Indonesia Bersatu saat ini sebagai senjata dalam meraih suara rakyat. 

   Bermunculanlah iklan-iklan kampanye di media massa seperti televisi, radio maupun media cetak dari partai-partai tersebut yang mengklaim bahwa sukses mencapai swasembada pangan saat ini merupakan buah keberhasilan masing-masing parpol.  Namun bagaimana sesungguhnya kondisi ketahanan pangan nasional dalam lima tahun terakhir atau selama 2005-2009 di bawah pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), benarkah Indonesia telah mencapai swasembada? 

   Jika menilik komoditas pangan yang dikembangkan di tanah air tentu saja akan terlalu panjang untuk diulas dalam tulisan pendek ini karena begitu banyaknya komoditas tersebut, sehingga hanya tiga produk utama yang akan dibahas yakni beras, gula dan daging.  Dalam Rencana Strategis Departemen Pertanian 2005-2009, pemerintah menetapkan proyeksi pencapaian produksi maupun besarnya konsumsi terhadap seluruh komoditas pangan di dalam negeri. 

  Khusus untuk padi selama periode 2005-2009, pertumbuhan produksinya diproyeksikan mengalami peningkatan 3,51 persen yakni dari 55,03 juta ton pada tahun 2005 menjadi 63,52 juta ton pada tahun 2009. 
Sedangkan produksi gula selama periode tersebut akan meningkat dari 2,16 juta ribu ton pada tahun 2005 menjadi 2,85 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata naik 7,09 persen per tahun. 

   Produksi daging ruminansia besar, yaitu daging sapi akan meningkat dari 392 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 441 ribu ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,01 persen per tahun.  bSementara itu selama jangka waktu lima tahun tersebut konsumsi beras diperkirakan meningkat dari 36,08 juta ton pada tahun 2005 menjadi 37,96 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 1,21 persen per tahun. 
Untuk konsumsi gula akan meningkat dari 3,30 juta ton pada tahun 2005 menjadi 3,82 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,57 persen per tahun. 

Pertama kali 

   Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyatakan pada 2008 untuk pertama kalinya sejak 1984 Indonesia kembali berhasil mencapai swasembada beras bahkan surplus hingga lebih dari 3 juta ton gabah kering giling (GKG), terutama beras kualitas premium.  Data dari Departemen Pertanian menyebutkan pada 2005 produksi padi secara nasional mencapai 54,15 juta ton kemudian naik menjadi 60,27 juta ton GKG pada 2008. 

   Sementara itu untuk produksi gula, menurut menteri, Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan gula konsumsi langsung rumah tangga sedangkan untuk memenuhi kebutuhan gula industri masih harus diimpor karena produksi dalam negeri masih rendah.  Dirjen Perkebunan Deptan Achmad Mangga Barani menyebutkan, pada 2008 produksi gula putih nasional mencapai 2,74 juta ton sedangkan kebutuhan hanya 2,7 juta ton. 

   "Produksi 2009 diharapkan mencapai 2,849 juta ton sehingga ada kelebihan volume. Jika angka itu tercapai maka tidak perlu impor lagi," katanya.  Sedangkan kebutuhan gula industri di dalam negeri sebanyak 1,8 juta ton sementara produksi nasional "raw sugar" (gula bahan baku industri) baru mencapai 100 ribu ton sehingga kekurangannya didatangkan dari luar. 

   "Namun demikian pada 2014 Indonesia sudah bisa memenuhi sendiri seluruh kebutuhan gula mentah untuk bahan baku industri," katanya.  Mengenai swasembada daging nasional, Direktur Jenderal Peternakan Tjeppy D Soedjana mengatakan, berdasarkan Rencana Starategis Deptan telah ditetapkan paling cepat tahun 2010. 

  Namun demikian Mentan memperkirakan saat swasembada tercapai sesungguhnya Indonesia masih membutuhkan impor yang jumlahnya, kurang dari 10 persen dari kebutuhan nasional. Data Ditjen Peternakan menyebutkan, pada 2004 populasi sapi potong sebesar 10,53 juta ekor dan produksi daging 369.711 ton. Pada 2008 populasi naik menjadi 11,86 juta ekor atau meningkat 2,01 persen pertahun dan produksi daging menjadi 418.207 ton atau meningkat 4,30 persen pertahun. 

   Sayangnya peningkatan produksi daging dalam negeri ini belum bisa menekan laju impor produk ternak. Hingga kini impor daging dan sapi bakalan masih cukup tinggi. Sekarang Indonesia masih mengimpor sekitar 30 persen dari total kebutuhan. Sapi bakalan sekitar 450 ribu ekor dan 55 ribu ton daging beku. 

 Untuk mencapai swasembada daging 2010 Mentan mengeluarkan peraturan No:59/Permentan/HK.060/8/2007 tentang Pedoman Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS).  Melalui kegiatan P2SDS diharapkan pada 2010, kebutuhan daging sapi bagi masyarakat sudah dapat dipenuhi dari dalam negeri minimal sebesar 90 persen atau 281,90 ribu ton. 

   Departemen Pertanian pada 2009 juga telah dialokasikan dana sebesar Rp145 miliar untuk subsidi bunga Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) skala kecil dengan sasaran 200.000 ekor sapi bibit sebagai upaya mempercepat swasembada daging.  Pada 2007, kebutuhan daging sapi di dalam negeri 370,8 ton, sedangkan kapasitas produksi dalam negeri 245,2 ton. Kekurangan 125,6 ton atau 33,9 persen dipenuhi lewat impor. 

   Dirjen Peternakan Tjeppy D Soedjana mengatakan melalui program percepatan pencapaian swasembada daging, diharapkan pada 2010 impor daging sapi bisa ditekan menjadi 9,8 persen atau 40,6 ribu ton dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri 414,3 ribu ton.  Namun demikian pencapaian swasembada daging pada 2010 sepertinya gagal dicapai, bahkan Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengakui hal itu. 

   "Kita tidak perlu malu mengakuinya," kata Mentan dalam rapat nasional Sosialisasi Kegiatan Pertanian 2009 dan Masukan Rencana Kegiatan 2010-2014 beberapa waktu silam.  Pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, program swasembada daging sapi ditargetkan pada 2005, kemudian direvisi 2010. Pada 2010 juga tidak akan tercapai karena tidak mungkin dalam dua tahun menambah populasi bibit sapi 1 juta ekor. Selain tidak ada dana, bibit juga tidak ada. 

  "Mungkin swasembada daging baru kita capai 2014," kata Dirjen Peternakan Tjeppy D Soedjana memprediksi.
   Mengapa masyarakat rindu era Pak Harto? Zaman orba tersebut memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Bahkan, Indonesia berhasil swasembada pangan. Indonesia didaulat badan dunia PBB sebagai role model.Kementerian Pertanian menuai puja dan puji dari domestik dan mancanegara.
   Mewujudkan swasembada pangan bukan perkara mudah. Butuh cetak biru (blue plan) untuk menunjukkan rute jalan surplus pangan. Dalam hal ini, pemerintahan Soehato patut diacungi jempol.
Swasembada Pangan Publik terhenyak ketika di Yahukimo terjadi kasus kelaparan. Di NTT, yang kesulitan mengakses pangan. Naas ketika sampai memakan korban jiwa. Negeri gemah ripah loh jinawi ini gagal memberi kesejahteraan bagi masyarakat. Era demokrasi tidak sebatas memberi kebebasan, tetapi soal isi perut.
   Era orba sebaliknya, kebebasan dikekang, tetapi kesejahteraan dan ketenangan didapat. Kementerian Pertanian dapat menjadi jembatan. Kementerian Pertanian bisa memformulasikan era reformasi, yaitukebebasan dan kesejahteraan seiring sejalan.
  • Integrasi. Kementerian Pertanian tidak jalan sendirian. Swasembada pangan bukan domain menteri pertanian semata. Terkait juga departemen perdagangan, proyek legislasi, dan arah ekonomi nasional.
  • Political will. Komitmen politik menyangkut politik ekonomi yang dibangun. Corak ekonomi dunia bisa dilihat secara sosialisme, kapitalisme, dan mix economy. Political will terkait pandangan politik ekonomi pemimpin bangsa.
  • Petani. Kemampuan petani Indonesia untuk berkompetisi secara global masih lemah. Serbuan asing melalui investasi modal membuat kewalahan petani domestik. Harga pokok pembelian turun drastis. Petani berada pada posisi tidak beruntung.
Kementerian Pertanian
   Kementerian Pertanian harus mengambil peran sebagai peletak visi swasembada pangan. Indonesia kaya sumber daya alam. Namun, miskin sumber daya manusia berkualitas. Quantity not produces quality. Kekayaan alam jadi curse (kutukan) ketimbang blessing (berkah). Gempuran dari sana dan sini tersirat dalam buku The Economic Hit Man. John Perkins membeberkan bahwa Indonesia disedot habis oleh korporasi internasional.
   Kementerian yang dikawal oleh politisi PKS ini harus menjaga tradisi keberpihakan bagi rakyat. Kebijakan afirmatif harus bertumpu pada petani. Kaum papa yang termarjinalkan. Lahan kini kian tergerus. Di Hari Tanah Nasional, SBY, bahkan, sempat terharu terkait tanah untukrakyat. Lahan bagi petani dicaplok para pengusaha.

Marhaenisme
   Era Soekarno diangkat paham marhaenisme. Paham ini merujuk pada Marhaen, seorang marjinal. Masa kini harus berkaca pada masa lalu bahwa swasembada pangan tidak akan berlangsung tanpa tanah untukrakyat. Tanah harus dikelola oleh para petani gurem. Jumlah mereka yang mendominasi petani nasional. Tanpa itu semua, hal ini hanya mimpi di siang bolong.


III. Kesimpulan
   Titik sentral masalahnya adalah apakah segenap energi bangsa dan wisdom  dalam mengambil keputusan intervensi kebijakan dapat saling mendukung dengan  target swasembada gula tersebut.  Sekali lagi, persoalan utama bukan terletak pada positioning apakah Indonesia harus protektif atau liberal dalam pengembangan  “industri” gulanya.  Konsistensi sebuah intervensi kebijakan jelas sangat diperlukan untuk memberikan sinyal insentif yang tepat bagi segenap pelaku, mulai dari petani, pedagang, pengolah dan konsumen. Termasuk di sini adalah intervensi dan keputusan impor, beserta perlakuannya yang sangat mencolok antara importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT).   
   Dalam konteks inilah maka, intervensi  kebijakan atau pemihakan pada sistem produksi gula di Indonesia menjadi salah  satu prasyarat pencapaian swasembada gula. Pada kesempatan lain (Arifin, 2005), penulis pernah menekankan untuk melakukan rekonstruksi basis produksi dalam sistem usahatani tebu, serta peningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis pabrik-pabrik gula yang  ada di Indonesia.  Kedua aspek ini perlu dibenahi secara bersamaan karena tidak mungkin berharap peningkatan efisiensi pabrik gula apabila kualitas rendemen gula dalam  tebu petani ternyata sangat rendah, yaitu sekitar 7 persen lebih sedikit. 
  Dalam kondisi biasa-biasa saja, mustahil berharap peningkatan produksi dan produktivitas tebu apabila insentif harga beli demikian rendah karena pabrik gula telah menderita inefisiensi teknis dan ekonomis.  Lebih buruk lagi, dukungan permodalan dari sektor perbankan dan lembaga non-bank lain cukup lemah, sehingga lengkaplah sudah persoalan struktural di sektor hulu produksi gula.  Seperti dijelaskan sebelumnya, sistem usahatani tebu telah mengalami 
   pergeseran signifikan, karena beberapa komoditas lain bernilai ekonomi sangat tinggi semakin dikenal petani tebu. Apabila tidak mampu terkelola secara baik, tingkat substitusi komoditas seperti itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi pencapaian tujuan kebijakan lain, seperti tingkat ketahanan pangan, diversifikasi produksi dan keuntungan ekonomis usahatani.  Bahkan, tingkat substitusi tebu lahan basah dengan padi sawah pernah menjadi topik hangat beberapa waktu lalu karena peningkatan areal tanam tebu dapat mengurangi produksi padi cukup signifikan, dan jelas mengganggu tingkat ketahanan pangan.
  Fenomena penurunan produksi dan produktivitas – sekaligus penurunan penerimaan ekonomis usahatani telah membuat banyak petani tebu mengkonversi menjadi usahatani lain atau dengan pola tanam lain yang lebih menguntungkan. Karena fenomena substitusi tersebut di atas, petani juga mengalihkan tebu  lahan sawah ke lahan kering karena pertimbangan rasional ekonomis.  
   Langkah kebijakan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tebu seakan tidak menghasilkan kinerja yang diharapkan baik karena menyangkut pembenahan kelembagaan yang demikian strategis.  Sejak  “terlepas” dari kebijakan sentralistis dan komando ala skema Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada awal era reformasi yang lalu, petani masih perlu dibiasakan untuk mengadopsi pilihan-pilihan ekonomis yang lebih rasional.  Pemerintah perlu lebih terfokus pada langkah nyata dalam peningkatan akses permodalan, informasi pasar, pembenahan  kelompok tani dan perbaikan sarana dan prasarana lain yang diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar para petani dalam bernegosiasi dengan pabrik gula dan pelaku pasar lainnya.   Dalam hal yang lebih operasional, pemerintah pusat perlu melakukan dialog dengan pemerintah daerah yang telah memasuki fase otonomi, agar diperoleh suatu strategi kebijakan yang bervisi pemberdayaan petani dan lapisan masyarakat lainya. 
   Beberapa studi sebenarnya telah banyak dilakukan untuk mengantisipasi pergeseran usahatani tebu tanaman ekonomis lainnya, sehingga muncullah pilihanpilihan rasional untuk pemanfaatan tebu lahan kering, bahkan di Luar Jawa (lihat Arifin, 2004).  Pemerintah perlu lebih serius dalam menindaklanjuti hasil-hasil analisis kebijakan alternatif atau perubahan pola tanam usahatani seperti itu, karena langkah kebijakan tersebut dapat berkontribusi bagi pemandirian petani dan desentralisasi ekonomi atau otonomi daerah yang lebih beradab. Pada sistem produksi ini, langkah pencapaian swasembada gula dapat ditempuh dengan langkah besar peningkatan rendemen,  yang selama ini hanya sekitar 7 persen atau kurang.  Kenaikan rendemen 1 persen saja, maka terdapat potensi tambahan produksi gula lebih dari 300 ribu ton,  yang tentu saja dapat berkontribusi pada pencapaian swasembada gula Indonesia (P3GI, 2008).   
   Kapasitas sumberdaya pabrik dan  sumberdaya manusia masih sangat memungkinkan untuk meningkatkan produktivitas hablur menjadi 8 ton per hektar.  Strategi tersebut dapat ditempuh dengan  “metode konvensional” dalam bidang budidaya, berupa perbaikan varietas, penyediaan bibit  sehat  dan murni, optimalisasi waktu tanam,  pengaturan kebutuhan air,  pemupukan  berimbang,  pengendalian organisme  pengganggu, dan sebagainya. Dalam aspek panen dan pasca panen, untuk meningkatkan produktivitas beberapa hal bisa dilakukan, misalnya penentuan awal giling yang tepat dan penentuan kebun tebu yang ditebang.   
   Selain  “metode konvensional” di atas, peningkatan rendemen dapat ditempuh dengan  “metode terobosan yang lebih komprehensif” seperti memperbaiki sistem insentif manajemen produksi tebu, mulai dari sistem bagi hasil, sistem transfer tebu, pengukuran kualitas tebu, insentif harga dan kebijakan lain seperti pendanaan kredityang lebih dapat diandalkan, sampai pada aspek konsolidasi lahan pabrik gula, seperti pembentukan sistem blok (lihat P3GI, 2008).   Apabila kedua metode peningkatan rendemen tersebut dapat dikombinasikan secara baik, maka pencapaian rendemen gula sampai 11 persen bukanlah sesuatu yang sulit. Bahkan, apabila metode tersebut secara konsisten dilaksanakan, maka tidak mustahil rendemen gula pada perkebunan tebu di Indonesia dapat mencapai 13 persen atau lebih.  

IV. DAFTAR PUSTAKA




0 Coment:

Speedtest

Ayo Tes Seberapa Cepat Kamu Mengetik !! 50 words

Silahkan Coba Disini : Speed test

Search