THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 23 Maret 2011

Tugas 4 (Sektor Pertanian)

I. Pendahuluan

   Sejumlah sector pertanian Indonesia belum menunjukkan fakta mengenbirakan. Sebagian besar penduduk miskin tinggal di wilayah perdesaan umumnya sebagai petani. Kebijakan impor beras premium yang terus di lakukan, padahal Indonesia punya beras yang ebrkualitas seperti Cianjur dan IR-64.

   Selain itu Produktifitas pekerja petani lebih rendah dari pada pekerja industri. Pertanyaan besar bagaimana negeri agraris sebesar Indonesia yang penduduknya gemar makan tempe, ternyata tidak mampu gojolak harga keledai Internasional?

   Pentingnya peran sector pertanian dalam pembangunan nasional mengungat 63,3% penduduk miskin tinggal di perdesaan yang sebagaian besar mempunyai mata pencarian di sector tani.

   Di sisi ini, masih beragamnya pengertian dan batasan tentang kemiskinan, definisi dan etode pendekatan serta ukuran dalam memahami kemiskinan akan berdampak sangat luas terhadap strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan.

II. Pembahasan

   Perekonomian Indonesia pada tahun 2003 yang  diukur  dari nilai PDB naik dibandingkan tahun 2002 baik berdasarkan harga berlaku maupun hargan istan 1993.  PDB atas dasar harga berlaku naik dari Rp. 1.610,56 triliun (tahun 2002) menjadi Rp.  1.786,69 triliun, sedangkan  PDB atas dasar harga konstan 1993  naik dari Rp. 426,94 triliun (tahun 2002)  menjadi Rp. 444,45 triliun. Dengan demikian kinerja perekonomian Indonesia tumbuh positif 4,10 persen. Peningkatan ini didukung seluruh lapangan  usaha baik sektor pertanian  maupun  sektor  non pertanian.

   Di sektor  pertanian,  peningkatan PDB sebenarnya telah diprediksi sebelumnya mengingat adanya kecenderungan peningkatan PDB dalam lima  tahun terakhir. Dengan pertumbuhan positif 2,48 persen, kinerja sector pertanian berhasil mencapai nilai riil sebesar Rp. 70,37 triliun. Sedangkan secara nominal PDB  sektor  pertanian tahun 2003sebesar Rp. 296,24 triliun.  Peningkatan PDB sektor pertanian tahun 2003 diperoleh karena me - ningkatnya kinerja perekonomian sebagian besar  sub sektor pendukungnya. PDB Indonesia pada tahun 2003 naik dibandingkantahun 2002 secara nominal maupun secara riil. PDB atas dasar harga berlaku naik dari Rp. 1.610,56 triliun (tahun 2002) menjadi Rp. 1.786,69 triliun, sedangkan PDB atas asar harga konstan 1993 naik  dari Rp. 426,94 triliun (tahun 2002) menjadi Rp. 444,45 triliun  atau tumbuh positif 4,10  persen. Pertumbuhan ini disebabkan naiknya kinerja seluruh  sektor perekonomian. Sektor pertanian mencatat pertumbuhan 2,48 persen,

   lebih  kecil daripada pertumbuhan sektor non pertanian. PDB sektor pertanian tahun 2003 secara nominal berdasarkan harga berlaku mencapai Rp. 296,24 triliun yang terdiri atas sub sector tanaman bahan makanan senilai Rp. 146,35 triliun, sub  sektor perkebunan Rp. 47,05  triliun, sub sektor peternakan  Rp. 39,04 triliun, sub sector kehutanan Rp. 19,00 triliun, dan sub sektor perikanan Rp. 44,79 triliun. Dengan demikian sub sector tanaman bahan makanan tetap memberikan andil terbesar terhadap PDB sektor pertanian,

   yaitu sebesar 49,40 persen. Kontribusi ini sebenarnya menurun dibandingkan tahun 2002  (51,37 persen) yang  mengindikasikan adanya penyebaran kontribusi dan peningkatan PDB pada sub sektor-sub sektor lainnya. Komoditas yang berperan penting dalam pembentukan PDB tanaman bahan makanan  adalah padi dengan kontribusi  terhadap PDB sub sector tanaman bahan makanan sekitar 42,74 persen.  Sementara itu secara riil  PDB sektor pertanian tahun  2003  berdasarkan harga konstan 1993 mencapai Rp. 70,37 triliun atau naik 2,48 persen dibandingkan tahun 2002 (sebesar Rp. 68,67 triliun).

   Kenaikan terjadi pada  hampir seluruh sub sector pendukung kecuali sub sektor  kehutanan yang turun 0,35 persen. Kenaikan tertinggi dicapai oleh sub sector perkebunan sebesar 5,16 persen, diikuti perikanan (3,95  persen), peternakan (3,47persen), dan tanaman bahan  makanan (1,55 persen).

   Dalam jangka pendek fluktuasi perekonomian Indonesia tercermin dari PDB  dengan periode triwulanan. Pada triwulan  IV tahun 2003 PDB Indonesia secara nominal  berdasarkan harga berlaku mencapai Rp.  451,53 triliun, turun dibandingkan triwulan III tahun 2003 yang mencapai  Rp. 454,17 triliun. Secara riil berdasarkan harga konstan 1993 PDB  Indonesia pada triwulan IV 2003 mencapai Rp. 110,72  triliun atau turun 2,78 persen dibandingkan triwulan sebelumnya  y ang  terutama  disebabkan oleh adanya faktor  musiman pada sektorpertanian.

   PDB  sektor pertanian yang pada triwulan III tahun  2003 berhasil mencapai nilai Rp. 78,15 triliun (harga berlaku) maka pada triwulan  IV tahun 2003 hanya mencapai Rp. 64,51 triliun. Sementara  menurut perhitungan  harga konstan 1993 , kinerja sektor pertanian  triwulan IV tahun 2003 juga turun dari  Rp.  19,37 triliun (triwulan  III tahun 2003) menjadi Rp. 15,05 triliun atau  turun 22,29 persen. Penurunan yang cukup besar  tersebut merupakan refleksi dari faktor musiman   di sub sektor tanaman bahan  makanan dan tanaman perkebunan. Sub sektor tanaman bahan makanan mencapai PDB nominal triwulan IV 2003 sebesar Rp. 24,63 triliun,

   Turun dari triwulan sebelumnya yang mencapai Rp. 37,55 triliun. Berdasarkan  nilai riil sub sektor tanaman bahan makanan turun dari Rp.  9,24 triliun pada triwulan III  2003 menjadi Rp. 6,17 triliun  atau turun 33,24 persen. Pada triwulan IV 2003 P D B nominal sub sector perkebunan mencapai Rp. 12,36 triliun, turun dari triwulan sebelumnya yang mencapai Rp. 14,76 triliun. Sedangkan secara riil PDB sub sektor  perkebunan adalahsebesar Rp. 3,05 triliun, turun  29,17 persen terhadap   triwulan III 2003. Berbeda dengan dua sub sektor terdahulu,

   sector peternakan dan hasil-hasilnya  berhasil naik tipis  0,45 persen demikian pula dengan sub sektor perikanan (naik 2,73 persen), tetapi sub sector kehutanan turun 3,45 persen. Dengan mengabaikan faktor musiman pada sector pertanian maka kita dapat membandingkan PDB pada triwulan IV tahun 2003 dengan triwulan yang sama tahun 2002. Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa PDB  Indonesia pada periode triwulan IV tahun 2003 tumbuh  positif  4,35 persen tetapi  PDB pertanian  justur  turun 0,17 persen dibandingkan triwulan IV 2002 karena adanya penurunan  pada  kinerja sub sector tanaman bahan makanan dan  kehutanan.

   PDB sektor pertanian pada tahun 2003 memberikan  kontribusi terhadap PDB nasional  sebesar 16,58  persen, merupakan peringkat  kedua setelah sektor industri pengolahan.  Dukung an  diberikan  oleh sub sector tanaman bahan makanan dengan  kontribusi sebesar 8,19 persen,  peringkat kedua  diduduki oleh sub sector perkebunan sebesar 2,63  persen, sub sektor perikanan  menduduki peringkat ketiga dengan  kontribusi mencapai 2,51 persen, sedangkan peringkat keempat dan kelima  diduduki oleh sub sector peternakan dan kehutanan masing-masing sebesar 2,19 persen dan 1,06 persen. Pada periode triwulanan , kontribusi  sektor  pertanian terhadap  total  PDB  nasional  selama triwulan  IV tahun 2003 mencapai 14,29 persen, berada pada peringkat  ketiga setelah sektor non pertanian yaitu sektor  industri  pengolahan  (2 4 ,42 persen ) dan sektor perdagangan - hotel-restoran  (1 6 ,53 persen). 

   Pada triwulan-triwulan sebelumnya sektor pertanian berhasil menduduki peringkat  kedua di bawah sector industri pengolahan. Pergeseran peringkat  tersebut  patut menjadi perhatian karena hal ini  juga  menunjukkan  semakin   berkurangnya pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dibandingkan sektor non pertanian.  Kontribusi sector pertanian sebesar 14,29 persen terhadap PDB nasional  tersebut didukung oleh kontribusi sub sektor tanaman  bahan makanan  sebesar  5,46 persen,  sub  sektor  perikanan sebesar 2,76 persen, sub  sektor  perkebunan  2 ,74 persen, sub sektor peternakan  2,24 persen, diikuti  sub sektor kehutanan   dengan kontribusi  sebesar 1,09 persen.

Kontribusi PDB Sub Sektor  Pertanian terhadap PDB  Sektor Pertanian.

   Kontribusi terbesar bagi  PDB  sektor pertanian masih  didominasi oleh sub sektortanaman bahan makanan yang memberikan kontribusi sebesar 49,40 persen selama tahun 2003. 

   Peringkat kedua  adalah sub sektor perkebunan  sebesar 15,88 persen, diikuti sub sektor perikanan sebesar  15,12 persen, sub sector peternakan 13,18 persen, dan  sub sektor kehutanan 6,41 persen. Pada periode triwulanan  sub sektor tanaman bahan makanan juga merupakan kontributor terbesar dalam pembentukan PDB pertanian.  Kontribusi sub sektor tanaman  bahan makanan selama triwulan  IV tahun 2003 sebesar  38,18 persen.

   Namun  demikian  persentase tersebut  mengalami  penurunan jika dibandingkan triwulan  III tahun 2003 yang mencapai 48,05 persen maupun jika  dibandingkan dengan triwulan  yang sama tahun sebelumnya.

   Peringkat kedua diduduki oleh sub sector perkebunan yang memberikan  kontribusi  terhadap PDB sektor pertanian pada triwulan  IV tahun 2003  sebesar 19,15 persen,  meningkat jika dibandingkan triwulan  III tahun 2003 yang hanya mencapai  18,89 persen. Sub sektor perikanan mengalami peningkatan kontribusi dari 1 4 ,61 persen  pada  triwulan  III tahun 2003  menjadi  19,34 persen pada  triwulan  IV tahun 2003.

   Sedangkan sub sector peternakan dan hasil-hasilnya mengalami  peningkatan  kontribusi  dari 12,23 persen  (triwulan III tahun 2003) menjadi 15,70 persen (triwulan IV tahun 2003). Hal  yang sama juga terjadi pada  sub sektor kehutanan dengan  kontribusi sebesar 6 ,21 persen  pada  triwulan III tahun 2003  menjadi  7,63 persen pada  triwulan  IV tahun 2003.

   Jika diamati sebenarnya kontribusi PDB tiap-tiap sub sektor pertanian  pada periode  triwulanan  mempunyai pola yang hampir sama dari tahun  ke tahun. Sub sektor tanaman  bahan makanan mempunyai pola kontribusi PDB yang cenderung menurun dari triwulan I sampai dengan  triwulan IV.   Dari perilaku tersebut diketahui bahwa kontribusi terbesar sub sektor  tanaman bahan makanan terjadi pada triwulan I sebagai dampak positif dari puncak panen padi di musim hujan.

   Pada sub sector perkebunan, perbandingan kontribusi PDB antar triwulan  lebih bervariasi.  Sub sector perkebunan menempati peringkat kedua atau ketiga bergantian dengan sub sektor  perikanan. Kontribusi terbesar  umumnya  terjadi pada triwulan III dan IV yang disebabkan oleh adanya kecenderungan  panen  pada semester kedua dari  komoditas tahunan utama sub  sektor perkebunan seperti kelapa sawit dan karet. 

   Kontribusi PDB perkebunan terhadap  total  PDB pertanian  pada triwulan I tercatat merupakan kontribusi yang terendah. Pada sub sector peternakan,  pola  kontribusi  PDB menunjukkan kenaikan pada triwulan II dan triwulan  IV  dan pada triwulan IV kontribusi sub sector peternakan mencapai persentase tertinggi. Kontribusi pada triwulan I dan III cenderung menurun dib andingkan triwulan sebelumnya.

   Hal  ini lebih disebabkan oleh adanya peningkatan produksi menjelang hari-hari besar keagamaan yang jatuh hamper bersamaan pada akhir tahun 1999 -2003. ontribusi PDB sub ektor kehutanan cenderung  eningkat dari triwulan I ampai dengan triwulan IV etiap tahunnya. Kontribusi  ertinggi dicapai pada triwulan  V dan selanjutnya turun embali pada triwulan I.

   Sub sector ehutanan memberikan ontribusi terhadap PDB ertanian yang paling rendah  ibandingkan sub sector endukung lainnya. ola yang hampir serupa  engan sub sektor kehutanan  uga terjadi pada sub sector erikanan yaitu cenderung aik pada triwulan II sampai dngan triwulan IV kemudian  urun pada triwulan I. ontribusi perikanan terhadap  DB pertanian mencapai lebih  ari 12 persen dan menempati  eringkat kedua atau ketiga etelah sub sektor tanaman ahan makanan dan perkebunan.

Nasib Sektor Pertanian dan Industri


   Kecemasan terhadap masa depan ekonomi nasional telah mendapatkan konfirmasi yang meyakinkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa hari lalu. Para pengamat ekonomi sudah lama mengingatkan bahaya involusi pertanian dan gejala deindustrialisasi sehingga diharapkan pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan ini.

   Namun, data yang disampaikan BPS menyodorkan fakta yang kian membuat prihatin karena sektor pertanian hanya tumbuh 2,9 persen dan sektor industri tumbuh 4,5 persen (padahal pertumbuhan ekonomi sepanjang 2010 mencapai 6,1 persen).

   Seperti tahun-tahun sebelumnya, penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi sektor-sektor non-tradeable seperti pengangkutan dan komunikasi (13,5 persen), konstruksi (7 persen), perdagangan, hotel dan restoran (8,7 persen). Jika dibuat rata-rata, sektor non-tradeable mencapai pertumbuhan 7,7 persen sepanjang 2010.

Tragedi Pertanian



   Sektor pertanian merupakan kisah sukses perekonomian nasional pada masa lampau. Secara tegas GBHN yang pernah dimiliki Indonesia menempatkan sektor pertanian sebagai fondasi pembangunan ekonomi.


  GBHN itu kemudian diperinci berdasarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang berisi tahap-tahap modernisasi pembangunan sektor pertanian. Tidak mengherankan bila sejak dekade 1980-an Indonesia telah bisa swasembada beras dan memproduksi beberapa komoditas penting dalam jumlah yang besar seperti gula, kedelai, dan jagung.


   Di kawasan Asia, Indonesia dianggap sebagai pemain penting sektor pertanian, bahkan dapat memasok kebutuhan negara-negara lain lewat ekspor yang dilakukan, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Pendeknya, selama kurang lebih 15-20 tahun Indonesia telah menempatkan dirinya sebagai pemain besar sektor pertanian di dunia. Namun, setelah krisis 1997/1998 keadaan tiba-tiba berubah sangat cepat.


   Secara nasional Indonesia tidak memiliki lagi panduan strategi pembangunan ekonomi yang tegas untuk mendudukkan sektor pertanian sebagai basis perekonomian. Secara teknis, kebijakan ekonomi banyak didikte oleh asing, khususnya melalui perjanjian letter of intent dengan IMF, yang meliberalisasi sektor pertanian secara drastis. Kenyataan itu membuat insentif melakukan kegiatan produksi di sektor pertanian menjadi menurun karena banjir produk impor.


   Implikasinya, produksi beberapa komoditas andalan seperti kedelai dan jagung turun drastis. Sejak saat itu pula, Indonesia telah menjadi importir untuk beberapa komoditas pangan penting. Pada semester pertama 2008 Indonesia pernah mengalami keadaan yang pahit ketika harga pangan internasional melonjak sangat tajam dan kita sudah menjadi importir pangan. Pada periode 2000-2004 sektor pertanian sempat tumbuh lumayan, rata-rata 3,9 persen, tetapi pada 2005 pertumbuhan sektor pertanian anjlok menjadi 1,79 persen.



   Pada periode itu terdapat anomali yang aneh karena pada 2001 pertumbuhan ekonomi sebesar 3,81 persen dan meningkat menjadi 5,76 persen pada 2005, tetapi saat bersamaan sektor pertanian malah merosot pertumbuhannya dari 4,08 persen (2001) menjadi 1,79 persen (2005).



   Pola ini seperti berulang saat ini ketika pertumbuhan ekonomi 2010 sebesar 6,1 persen, tetapi sektor pertanian hanya mampu tumbuh 2,9 persen. Celakanya, sampai saat ini sektor pertanian masih menyerap sekitar 41 persen dari total tenaga kerja.



   Kehancuran ini bisa terjadi karena sektor pertanian tidak dinafkahi dengan kebijakan dan kelembagaan yang memadai untuk menghidupkannya kembali, bahkan untuk sekadar bertahan dari gempuran komoditas luar negeri pun sudah sangat sulit.


Cetak Biru Pembangunan

   Sektor industri juga menyumbang penyerapan tenaga kerja yang cukup besar,yakni sekira 12 persen, dan berkontribusi terhadap PDB pada kisaran 26–27 persen (turun dari masa lalu yang hampir mencapai 29 persen).


   Deskripsi ini, ditambah dengan kontribusinya terhadap ekspor, membuat sektor industri memiliki posisi strategis dalam konstelasi pembangunan ekonomi nasional. Namun, sebangun dengan yang dialami sektor pertanian, dalam beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan sektor industri merosot sehingga kontribusinya terhadap PDB juga menurun.


   Realitas inilah yang kemudian disebut dengan fenomena deindustrialisasi. Dalam subsektor industri, sebetulnya terdapat potensi yang besar untuk dikembangkan seperti industri makanan dan minuman, elektronik, tekstil, alas kaki, kimia, dan semen. Industri makanan dan minuman sampai sekarang masih menjadi penopang sektor industri nasional.



   Sementara itu, industri tekstil mengalami kemunduran karena terlambat melakukan peremajaan teknologi (mesin) sehingga saat ini kalah bersaing dengan negara-negara lain semacam China, India, dan AS.



   Industri kimia potensi ekspornya bagus, tetapi juga terjebak dengan impor bahan baku yang besar. Pola yang sama juga terjadi pada industri baja yang selama bertahun-tahun tidak melakukan ekspansi produksi. Untuk industri elektronik dan automotif tidak ada insentif yang jelas dari pemerintah untuk penguatan industri nasional sehingga Indonesia hanya menjadi pasar empuk negara-negara lain, khususnya Jepang, Eropa, dan AS.


   Dengan situasi seperti ini, jelas sangat sulit mengharapkan sektor industri tumbuh tinggi karena tidak ada kebijakan dan investasi yang memadai selama beberapa tahun belakangan. Jadi, fenomena deindustrialisasi merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari.



   Cetak biru pengembangan sektor pertanian dan industri merupakan kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda sebagai jalan pengembalian arah pembangunan ekonomi nasional. Melihat potensi dan sumber daya ekonomi yang dimiliki, sebetulnya pembangunan sektor pertanian dan industri merupakan satu kesatuan. Strategi industrialisasi nasional harus dikembalikan pada tumpuan sektor pertanian (dan sumber daya alam lainnya) karena di sinilah keunggulan yang dimiliki Indonesia.



   Terlalu banyak kesalahan yang dibuat dengan menjual murah (ekspor) komoditas penting di sektor pertanian dan SDA tanpa melalui pengolahan terlebih dulu seperti ikan, buah-buahan, batu bara, kelapa sawit. Jika semua itu diolah terlebih dulu, sektor industri bergerak, lapangan kerja tercipta, nilai tambah diperoleh,dan ekspor menjulang. Hal yang sangat sederhana ini pun tidak kunjung pemerintah lakukan!


III. Kesimpulan

Kemakmuran Petani Harus Diperhatikan.

   Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengingatkan pemerintah untuk lebih memperhatikan kesejahteraan dan meningkatkan kemakmuran petani. Apalagi, hingga saat ini, kehidupan banyak petani masih jauh dari kategori sejahtera.

   Sekretaris Jenderal HK TI Benny Pasaribu mengatakan, untuk meningkatkan kemakmuran petani, maka kebijakan pembangunan sektor pertanian seharusnya mendapat dukungan dari Kementerian Pertanian dan seluruh kementerian terkait lainnya.

   "Jika negara ingin makmur, petani harus makmur. Pembangunan pertanian harus memakmurkan petani. Namun, tidak mungkin hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian. Kementerian terkait lainnya juga harus memberikan dukungan," katanya usai pertemuan sejumlah pengurus HKTI pimpinan Oesman Sapta dengan Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, beberapa waktu lalu.

   Menurut Benny, kebijakan di bidang ekonomi, baik makro maupun mikro, harus mengarah dan disinergikan dengan sektor pertanian. Ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kemakmuran petani. Namun, hingga saat ini, kebijakan makro, baik fiskal maupun moneter, yang diusung pemerintah belum memihak kepada sektor pertanian, sehingga tidak jarang merugikan petani dalam negeri.

   Dia mencontohkan, kebijakan pemerintah untuk melakukan penguatan rupiah terhadap dolar AS justru mendorong masuknya produk pertanian impor, sehingga memukul hasil produksi petani dalam negeri. Selain itu, upaya pemerintah untuk melindungi petani dalam negeri dari produk pertanian impor juga masih minim. Salah satu contoh kasus terakhir terkait masuknya bawang merah impor yang membanjiri pasaran dalam negeri. Bahkan, masuk ke Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang merupakan sentra produksi bawang merah di Tanah Air.

   Di sisi lain, anggota Komisi IV dan Komisi VI DPR periode 2004-2009 ini juga menyoroti masih rendahnya perhatian pemerintah terhadap kegiatan penelitian (riset) bidang pertanian di dalam negeri. "Saat ini, dana untuk penelitian pertanian masih sangat rendah, kegiatannya juga tidak fokus," katanya.

   Menyangkut hal ini, Menteri Pertanian Suswono mengatakan, diperlukan perlakuan khusus dan spesifik untuk meningkatkan kesejahteraan petani dalam negeri. Dalam hal ini, petani di negara lain sebagian besar memiliki tanah garapan yang luas dan masih mendapat subsidi dari pemerintahnya serta perlindungan dari persaingan dengan produk impor.

   Dia juga membandingkan petani di Luksemburg (Eropa). Seorang petani memiliki lahan hingga 40 hektare, sedangkan peternak yang memiliki sapi 75 ekor bisa mendapatkan subsidi pakan sehingga bisa mendapatkannya secara gratis. Selanjutnya, di Jepang, pemerintahnya menetapkan kebijakan harga pangan yang ideal, misalnya untuk beras yang harganya setara Rp 50.000 per kilogram (kg). Ini menjadi stimulus dan insentif bagi petani.

   "Pemerintah sendiri juga terus memberikan insentif maupun perlindungan kepada petani, terutama di saat menghadapi perubahan iklim seperti yang terjadi belakangan ini. Subsidi untuk pupuk dan lainnya juga terus diberikan untuk petani," kata Suswono.

Penyusutan Stok

   Di samping itu, Suswono mengatakan, pemerintah menginginkan mengurangi penyusutan stok beras dari segi distribusi hingga 5 persen sebagai upaya menjaga ketahanan pangan nasional dan kemungkinan meningkatnya harga pangan dunia.

   "Karena loss kita masih 10 persen kekurangannya. Kalau ini bisa kita kurangi, syukur bisa mencapai 5 persen, saya kira pengurangan loss yang kehilangan saja bisa di atas 2 juta ton (yang) bisa diselamatkan," ujar dia.

   Menurut dia, pemerintah dapat menyediakan penampungan beras yang lebih baik bagi para petani, menyiapkan pengeringan gabah yang lebih bermanfaat, dan proses penggilingan agar penyusutan tersebut dapat diminimalisasi. Apabila penyusutan distribusi tersebut tidak terlampaui 5 persen dalam tahun ini, diharapkan jumlah yang dapat tercapai yakni sebesar 2 persen atau setara dengan 600.000 ton.

   "Mungkin berat, tapi paling tidak 2 persenan. Paling tidak kalau 2 persen berarti setidak-tidaknya bisa 600.000 ton setara beras," ucapnya. Selain itu, pemerintah juga berupaya untuk menurunkan konsumsi beras per kapita sebesar 1,5 persen dan meningkatkan diversifikasi pangan dengan mengembangkan sumber karbohidrat lain selain beras. "Itu target sasaran yang akan kita capai, tapi mindset kita ini untuk mengubah makan nonberas ini tidak gampang. Jadi, dengan kesadaran masyarakat berubah, mudah-mudahan akan lebih cepat lagi," ujarnya.

   Pemerintah, kata dia, juga akan meningkatkan dan menjaga produksi beras aram 1-5 persen melalui peran pemerintah daerah dengan target surplus produksi beras sebesar 10 juta ton hingga lima tahun mendatang. "Produksi kita surplus antara 4-5 juta ton. Akan tetapi, surplus ini memang masih kecil dibanding kebutuhan kita untuk menjaga stabilitas pangan. Presiden sudah memerintahkan lima tahun ke depan surplus ini tidak kurang dari 10 juta ton," ujar Mentan.

   Untuk itu, saat ini sedang dipersiapkan bibit dan benih unggul yang adaptif terhadap perubahan iklim serta penanganan yang lebih maksimal melalui sekolah pengelolaan tanaman terpadu, sekolah lapangan pengendalian hama terpadu, dan sekolah iklim.

IV. Daftar Pustaka

0 Coment:

Speedtest

Ayo Tes Seberapa Cepat Kamu Mengetik !! 50 words

Silahkan Coba Disini : Speed test

Search